BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setelah pemerintahan Hindia Belanda
digantikan oleh pemerintahan Inggris, yaitu pada tahun 1811, Inggris mulai
menanamkan kekuasaannya di Indonesia. Pada masa pemerintahan Inggris yang
paling terkenal adalah masa pemerintahan Raffles. Masa pemerintahan Inggris
terbilang cukup singkat yaitu hanya lima tahun terhitung mulai tahun 1811
sampai dengan 1816.
Tujuan utama Raffles adalah untuk
mengembangkan kekuasaan Inggris. Kebijakan Rafles yang terkenal adalah sistem
sewa tanah, yaitu sistem pertanian dimana para petani atas kehendaknya sendiri
menanam dagangan (cash crops) yang dapat diekspor keluar negeri.
Setelah pemerintahan Inggris
berakhir, yaitu pada tahun 1816, Indonesia kembali dikuasai oleh Pemerintahan
Hindia-Belanda. Pada masa ”kedua” penjajahan ini, yang sangat terkenal adalah
sistem tanam paksa yang diterapkan oleh Van den Bosch. Pelaksanaannya pun
dimulai pada tahun 1830. Terdapat ketentuan-ketentuan dalam pelaksanaan sistem
tanam paksa tersebut. Namun pada akhirnya, dalam praktek sesungguhnya terdapat
banyak penyimpangan-penyimpangan.
Terdapat perbedaan antara penerapan
sistem sewa tanah yang dilaksanakan oleh Raffles serta sistem tanam paksa yang
dilaksanakan oleh Van den Bosch. Keduanya membawa dampak yang tidak sedikit
bagi kehidupan gangsa Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang yang
ada di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan, yaitu:
1.
Latar belakang pelaksanaan sistem sewa tanah, tujuan
pelaksanaannya, kegagalan pelaksanaan sistem sewa tanah oleh Raffles, serta
dampak pelaksanaan system sewa tanah.
2.
Latar belakang pelaksanaan sistem tanam paksa,
pelaksanaan sistem tanam paksa, serta penghapusan (dampak) tanam paksa.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sistem Sewa Tanah
1.
Latar Belakang
Sistem sewa tanah dijalankan oleh Inggris,
yaitu pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Stamford Raffles. Dalam usahanya
untuk menegakkan suatu kebijaksanaan kolonial yang baru, Raffles ingin
berpatokan pada tiga azas, antara lain:
a.
Segala bentuk dan jenis penyerahan wajib maupun
pekerjaan rodi perlu dihapuskan dan rakyat tidak dipaksa untuk menanam satu
jenis tanaman, melainkan mereka diberi kebebasan untuk menentukan jenis tanaman
apa yang akan ditanam;
b.
Peranan para bupati sebagai pemungut pajak dihapuskan
dan sebagai gantinya mereka dijadikan bagian integral dari pemerintahan
kolonial dengan fungsi-fungsi pememrintahan yang sesuai, perhatia mereka harus
terpusat pada pekerjaan-pekerjaan umum yang dapat meningkatkan kesejahteraan
rakyat.
c.
Para petani yang menggarap tanah dianggap sebagai penyewa
tanah milik pemerintah. Untuk penyewaan tanah ini para petani diwajibkan
membayar sewa tanah atau pajak atas pemakaian tanah pemerintah.
Untuk menentukan besarnya
pajak, tanah dibagi menjadi tiga kelas, yaitu:
a.
Kelas I, yaitu tanah yang subur, dikenakan pajak
setengah dari hasil bruto;
b.
Kelas II, yaitu tanah setengah subur, dikenakan pajak
sepertiga dari hasil bruto;
c.
Kelas III, yaitu tanah tandus, dikenakan pajak dua per
lima dari hasil bruto.
2.
Pelaksana Sistem Sewa Tanah
Sewa tanah diperkenalkan di Jawa
semasa pemerintahan peralihan Inggris (1811-1816) oleh Gubernur Jenderal
Stamford Raffles, yang banyak menghinpun gagasan sewa tanah dari sistem
pendapatan dari tanah India-Inggris. Sewa tanah didasarkan pada pemikiran pokok
mengenai hak penguasa sebagai pemilik semua tanah yang ada.
Tanah disewakan kepada kepala-kepala
desa di seluruh Jawa yang pada gilirannya bertanggungjawab membagi tanah dan
memungut sewa tanah tersebut. Sewa ini pada mulanya dapat dibayar dalam bentuk uang
atau barang, tetapi dalam perkembangan selanjutnya lebih banyak berupa
pembayaran uang. Pengalaman dan pelaksanaan sewa tanah ini, oleh Gubernur
Jenderal Stamford Raffles sangat dipengaruhi oleh pengalaman penerapan
perkembangan perekonomian colonial pada masa penguasaan Inggris di India.
Gubernur Jenderal Stamford Raffles ingin menciptakan suatu sistem ekonomi di
Jawa yang bebas dari segala unsur paksaan, dan dalam rangka kerjasama dengan
raja-raja dan para bupati.
Kepada para petani, Gubernur
Jenderal Stamford Rafflesingin memberikan kepastian hukum dan kebebasan
berusaha melalui sistem sewa tanah tersebut. Kebijakan Gubernur Jenderal
Stamford Rafflesini, pada dasarnya dipengaruhi oleh semboyan revolusi Perancis
dengan semboyannya mengenai “Libertie (kebebasan), Egaliie (persamaan),
dan Franternitie (persaudaraan)”. Hal tersebut membuat sistem liberal
diterapkan dalam sewa tanah, di mana unsur-unsur kerjasama dengan raja-raja dan
para bupati mulai diminimalisir keberadaannya.
Sehingga hal tersebut berpengaruh
pada perangkat pelaksana dalam sewa tanah, di mana Gubernur Jenderal Stamford
Raffles banyak memanfaatkan colonial (Inggris) sebagai perangkat (struktur
pelaksana) sewa tanah, dari pemungutan sampai pada pengadministrasian sewa
tanah. Meskipun keberadaan dari para bupati sebagai pemungut pajak telah
dihapuskan, namun sebagai penggantinya mereka dijadikan bagian integral
(struktur) dari pemerintahan colonial, dengan melaksanakan proyek-proyek
pekerjaan umum untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk.
Tiga aspek pelaksanaan sistem sewa tanah :
a)
Penyelenggaraan sistem pemerintahan atas dasar modern
Pergantian
dari sistem pemerintahan-pemerintahan yang tidak langsung yan gdulu
dilaksanakan oleh para raja-raja dan kepala desa digantikan dengan pemerintahan
modern yang tentu saja lebih mendekati kepada liberal karena rafles sendiri
adalah seorang liberal. Penggantian pemerintahan tersebut berarti bahwa
kekuasaan tradisional raja-raja dan kepala tradisional sangat dikurangi dan
sumber-sumber penghasilan tradisional mereka dikurangi ataupun ditiadakan.
Kemudian fungsi para pemimpin tradisional tersebut digantikan oleh para
pegawai-pegawai Eropa.
b)
Pelaksanaan pemungutan sewa
Pelaksanaan
pemungutan sewa selama pada masa VOC adalah pajak kolektif, dalam artian pajak
tersebut dipungut bukan dasar perhitungan perorangan tapi seluruh desa.
Dalam mengatur pemungutan ini tiap-tipa kepala desa diberikan kebebaskan oleh
VOC untuk menentukan berapa besar pajak yang harus dibayarkan oleh tiap-tiap
kepala keluarga. pada masa sewa tanah hal ini digantikan menjadi pajak
adalah kewajiban tiap-tiap orang bukan seluruh desa.
c)
Pananaman tanaman dagangan untuk dieksport.
Pada masa
sewa tanah ini terjadi penurunan dari sisi ekspor, misalnya tanaman kopi yang
merupakan komoditas ekspor pada awal abad ke-19 pada masa sistem sewa tanah
mengalami kegagalan, hal ini karena kurangnya pengalaman para petani dalam
menjual tanaman-tanaman merekadi pasar bebas, karena para petani dibebaskan
menjual sendiri tanaman yang mereka tanam.
3.
Tujuan Sistem Sewa Tanah
Pelaksanaan sistem sewa tanah yang
diperkenalkan oleh Gubernur Jenderal Stamford Raffles mengandung tujuan sebagai
berikut:
a.
Para petani dapat menanam dan menjual hasil panennya
secara bebas untuk memotovasi mereka agar bekerja lebih giat sehingga
kesejahteraannya mejadi lebih baik;
b.
Daya beli masyarakat semakin meningkat sehingga dapat
membeli baranng-barang industri Inggris;
c.
Pemerintah kolonial mempunyai pemasukan negara secara
tetap;
d.
Memberikan kepastian hukum atas tanah yang dimiliki
petani;
e.
Secara bertahap untuk mengubah sistem ekonomi barang
menjadi ekonomi uang.
Perubahan-perubahan yang terjadi
dengan dilaksanakannya sistem sewa tanah, dapat dikatakan revolusioner karena
mengandung perubahan azasi, yaitu unsur paksaan yang sebelumnya dialami oleh
rakyat, digantikan dengan unsur sukarela antara pemerintah dan rakyat. Jadi,
perubahan ini bukan hanya semata-mata perubahan secara ekonomi, tetapi juga
perubahan sosial-budaya yang mengantikan ikatan-ikatan adat yang tradisional
dengan ikatan kontrak yang belum pernah dikenal. Yaitu, digantikannya sistem
tradisional yang berdasarkan atas hukum feodal, menjadi sistem ekonomi yang didasarkan
atas kebebasan. Secara singkat perubahan tersebut, antara lain:
a.
Unsur paksaan digantikan dengan unsur bebas sukarela;
b.
Ikatan yang didasarkan pada ikatan tradisional, diubah
menjadi hubungan yang berdasarkan perjanjian;
c.
Ikatan adat-istiadat yang telah turun-temurun menjadi
semakin longgar, akibat pengaruh barat.
4.
Kegagalan Sistem Sewa Tanah
Pelaksanaan sistem sewa tanah yang
dilaksanakanan oleh Gubernur Jenderal Stamford Raffles, menemui beberapa
kegagalan. Dalam melaksanakan sistem sewa tanah tersebut, Jenderal Stamford
Raffles menemui banyak hambatan-hambatan yang berakibat gagalnya system sewa
tanah. Hamatan-hambatan yang dihadapinya antara lain:
a.
Keuangan negara dan pegawai-pegawai yang cakap
jumlahnya terbatas;
b.
Masyarakat Indonesia berbeda dengan masyarakat India
yang sudah mengenal perdagangan ekspor. Masyarakat Jawa pada abad IX masih
bertani untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan belum banyak mengenal perdagangan;
c.
Sistem ekonomi desa pada waktu itu belum memungkinkan
diterapkannya ekonomi uang;
d.
Adanya pejabat yang bertindak sewenang-wenang dan
korup;
e.
Pajak terlalu tinggi sehingga banyak tanah yang tidak
digarap.
5.
Dampak Sistem Sewa Tanah
Diperkenalkannya
sistem sewa tanah mempengaruhi perkembangan social ekonomi dalam beberapa hal.
Pertama, karena semua sumbangan wajib, kecuali kopi di Priangan, telah
dihapuskan, hasil tanaman perdagangan, yang tidak popular untuk pasar luar
negeri menurun. Kedua, kedudukan para bupati, yang kini dilucuti kekuasaannya
untuk mengumpulkan jatah beras dan memeras jasa kuli, memburuk. Seluruh Strata
pejabat pribumi rendahan yang telah dipekerjakan oleh para bupati sebagai
penyewa/bekel mewakili kabupaten
mereka, yaitu mereka yang disebut kepala perantara, dipecat. Ketiga, kedudukan
kepala desa, yang sampai pada waktu itu hanyalah primus inter pares (yang pertama diantara lain-lainnya yang
sederajat) dari penduduk desa yang punya tanah, dinaikkan cukup tinggi. Dari
tahun 1813 dan seterusnya, kepala desa adalah pejabat pemerintah yang
bertanggung jawab atas semua pajak mendapat izin khusus melaksanakan sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel)
dengan tujuan utama mengisi kas pemerintahan jajahan yang kosong, atau menutup
defisit anggaran pemerintah penjajahan.
B. Sistem Tanam Paksa (Culturstelsel)
1.
Latar Belakang Tanam Paksa
a.
Motif Tanam Paksa
Pelaksanaan sistem tanam paksa
(culturstelsel) sebenarnya merupakan usaha Pemerintah Hindia Belanda dalam
memperbaiki keungan di Hindia Belanda. Usaha tersebut sebenarnya sudah
dilakukan sejak masa pemerintahan Van der Capellen (1819-1825). Usaha-usaha
Belanda tersebut semakin mendapat hambatan karena persaingan dagang dengan
pihak Inggris. Apalagi setelah berdirinya Singapura pada tahun 1819,
menyebabkan peranan Batavia dalam perdagangan semakin kecil di kawasan Asia
Tenggara. Untuk kawasan Indonesia sendiri diperparah dengan jatuhnya harga kopi
dalam perdagangan Eropa. Karena kopi merupakan produk ekspor andalan pendapatan
utama bagi Belanda.
Selain itu, di negeri Belanda
sendiri pecah Perang Belgia pada tahun 1830. Perang ini berakhir dengan
kemerdekaan Belgia (memisahkan diri dari Belanda) dan menyebabkan keruntuhan
keuangan Belanda. Di Indonesia, Belanda juga mendapatkan serangan, yaitu Perang
Diponegoro (1825-1830) yang merupakan perang termahal bagi pihak Belanda dalam
menghadapi perlawanan dari pihak pribumi.
b.
Ciri dan Ketentuan Sistem Tanam Paksa
Ciri utama dari pelaksanaan sistem
tanam paksa adalah keharusan bagi rakyat untuk membayar pajak dalam bentuk
pajak in natura, yaitu dalam bentuk hasil-hasil pertanian mereka. Pada hakikatnya
sistem taman paksa ini adalah penerapan kembali sistem penanaman wajib yang
berlaku di Parahyangan selama 1810-1830.
Ketentuan-ketentuan sistem tanam
paksa, terdapat dalam Staatblad (lembaran negara) tahun 1834 No. 22, lebih
kurang 4 tahun setelah pelaksanaan sistem tanam paksaKetentuan pokok sistem
tanam paksa, antara lain:
a)
Orang-orang Indonesia akan menyediakan sebagian dari
tanah sawahnya untuk ditanami tanaman yang laku di pasar Eropa seperti kopi,
teh, tebu, dan nila. Tanah yang diserahkan itu tidak lebih dari seperlia dari
seluruh sawah desa;
b)
Bagian tanah yang disediakan sebanyak seperlima luas
sawah itu bebas dari pajak;
c)
Pekerjaan untuk memelihara tanaman tersebut tidak boleh
melebihi lamanya pekerjaan yang diperlukan untuk memelihara sawahnya sendiri;
d)
Hasil dari tanaman tersebut diserahkan kepada
Pemerintah Belanda dan ditimbang.. Jika harganya ditaksir melebihi harga sewa
tanah yang harus dibayar oleh rakyat, maka lebihnya tersebut akan dikembalikan
kepada rakyat. Hal ini bertujuan untuk memacu para penanam supaya bertanam dan
memajukan tanaman ekspor;
e)
Terdapat pembagian tugas yang jelas, yaitu ada yang
bertugas menanam saja, ada yang memungut hasil, ada yang bertugas mengirim
hasil ke pusat, dan ada yang bekerja di pabrik. Pembagian ini bertujuan untuk
menghindari agar tidak ada tenaga yang harus bekerja sepanjang tahun
terus-menerus;
f)
Tanaman yang rusak akibat bencana alam, dan bukan
akibat kemalasan atau kelalaian rakyat, maka akan ditangggung oleh pihak
pememrintah;
g)
Bagi para penduduk yang tidak mempunyai tanah akan
dipekerjakan pada perkebunan milik pemerintah selama 65 hari dalam setahun;
h)
Pelaksanaan tanam paksa diserahkan kepada
pegawai-pegawai pribumi, dan pihak pegawai Eropa hanya sebagai pengawas.
2.
Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa
a.
Penyimpangan pelaksanaan sistem tanam paksa
Dalam pelaksanaan sistem tanam
paksa, ketentuan yang sudah dibuat berbeda dengan apa yang terjadi di lapangan.
Terdapat penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan sistem tanam paksa
tersebut. Penyimpangan-penyimpangan tersebut, antara lain:
a)
Perjanjian tersebut seharusnya dilakukan dengan
sukarela, tetapi dalam pelaksanannya dilakukan dengan cara paksaan. Pemerintah
kolonial memanfaatkan pejabat-pejabat lokal seperti bupati dan kepala-kepala daerah
untuk memaksa rakyat agar menyerahkan tanah mereka;
b)
Di dalam perjanjian, tanah yang digunakan untuk Culturstelsel
adalah seperlia sawah, namun dalam prakteknya dijumpai lebih dari seperlima
tanah, yaitu sepertiga atau setengah sawah
c)
Waktu untuk bekerja untuk tanaman yang dikehendaki
pemerintah Belanda, jauh melebihi waktu yang telah ditentukan. Waktu yang
ditentukan adalah 65 hari dalam setahun, namun dalam pelaksanaannya adalah 200
sampai 225 hari dalam setahun;
d)
Orang yang dipekerjakan berasal dari tempat-tempat yang
jauh dari kampungnya, padahal manakan harus disediakan sendiri;
e)
Tanah yang digunakan untuk penanaman tetap saja
dikenakan pajak sehngga tidak sesuai dengan perjanjian;
f)
Kelebihan hasil tidak dikembalikan kepada rakyat atau
pemilik tanah, tetapi dipaksa untuk dijual kepada pihak Belanda dengan harga
yang sangat murah;
g)
Dengan adanya sistem persen yang diberikan kepada para
pejabat lokal, maka para pejabat itu memaksa orang-orangnya supaya tanamannnya
bisa menghasilkan lebih banyak;
h)
Tanaman pemerintah harus didahulukan baru kemudian
menanam tanaman mereka sendiri. Kadang-kadang waktu untuk menanam; tanamannya
sendiri itu tinggal sedikit sehingga hasilnya kurang maksima;
i)
Kegagalan panen tetap menjadi tanggung jawab para
pemilik tanah.
b.
Luas penanaman dan jenis tanaman
Tanah yang dipergunakan untuk
kepentingan tanam paksa sebenarnya tak pernah mencakup seluruh tanah pertanian
yang ada di Jawa. Paling luas pada tahun 1845 hanya menempati sekitar 5% dari
seluruh tanah pertanian dan seperlima dari persawahan yang ada. Sekalipun areal
yang digunakan relative terbatas, namun sistem tanam paksa mempengaruhi seluruh
karakter sistem administrasi kolonial.
Pembagian luas tanah untuk penanaman
paksa menurut jenis tanaman dalam tahun 1833:
Jenis Tanaman
|
Luas Tanah (dalam bahu)
|
Tebu
|
32,722
|
Nila (indigo)
|
22,141
|
The
|
324
|
Tembakau
|
286
|
Kayu Manis
|
30
|
Kapas
|
5
|
Jenis tanaman pokok yang harus
ditanam pada lahan yang telah ditentukan, antara lain kopi, tebu, teh, dan
nila. Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa kedua tanaman eksport yang
terpenting adalah tebu dan nila (indigo)
3.
Penghapusan Sistem Tanam Paksa
Dampak Sistem Tanam Paksa
Dampak dari diperkenalkannya Sistem
Tanam Paksa dapat dirangkum sebagai berikut:
a.
Produksi tanaman perdagangan untuk pasar Eropa meningkat luar biasa. Produksi padi dan
tanaman perdagangan untuk pasar lokal mandek
atau memburuk
b.
Meningkatnya tekanan atas tanah, tetapi tekanan atas
tenaga kerjalah yang melupakan ciri paling penting dari sistem ini.
c.
Permintaan yang meningkat akan tenaga kerja ini tidak
hanya melupakan akibat dari sistem baru berupa kerja paksa, tetapi juga akibat
meningkatnya ketergantungan pada kerja kuli membangun jalan, jembatan, irigasi,
pelabuhan, benteng, gedung, dan pabrik, serta permintaan akan transportasi dan
tenaga kerja di bidang industry. Prasarana yang lebih baik merupakan salah satu
dampak sampingan itu.
d.
Moneterisasi yang semakin meningkat adalah soal lain
lagi. Ini tentu tidak berarti bahwa jawa sebelum 1830 adalah sebuah Naturalwirtschaft.
e.
Kedudukan para bupati dinaikan bersamaan dengan
penerimaan mereka pada budi daya dan peran baru mereka sebagai pengawas tanaman
yang diwajibkan sistem tanam paksa.
f.
Kepala desa kini diawasi lebih ketat, terutama oleh
pengumpul pajak dari pihak belanda. Keadaan ekonomi pengumpul pajak ini
mengalami perbaikan karena ia juga mendapat bagian dari barang rampasan itui
(persentase budi daya).
g.
Perubahan pemilikan tanah pribumi secara turun temurun
tetap berjalan
h.
Sistem ini menghasilkan cukup banyak bahan statistic.
Di sini saya hanya menyebut laporan budidaya tahunan (cultuur verslag, disingkat CV) sejak tahun 1834, dan laporan
Kolonial tahunan (koloniaal verslag,
disingkat KV) sejak 1849.
Jika kita melihat dampak tanam paksa
yang dijalankan oleh Van den Bosc, maka pihak Belandalah yang mendapatkan
dampak keuntungan dari dilaksanakannya sistem ini. Sedangkan yang diterima oleh
bangsa Indonesia sendiri hanya semakin merosotnya kesejahteraan hidup. Namun
dari sekian bnayak dampak negatif, masih terdapat dampak postif yang dirasakan
oleh bangsa Indonesia meskipun hal tersebut terlalu dipaksakan.
1)
Bagi Belanda
Ø
Meningkatnya hasil tanaman ekspor dari negeri
jajahan dan dijual Belanda di pasaran Eropa;
Ø
Perusahaan pelayaran Belanda yang semula hampir
mengalami kerugian, tetapi pada masa tanam paksa mendapatkan keuntungan;
Ø
Belanda mendapatan keuntungan yang besar,
keuntungantanam paksa pertama kali pada tahun 1834 sebesar 3 juta gulden, pada
tahun berikutnya rata-rata sekitar 12 sampai 18 juta gulden.
2)
Bagi Indonesia
Ø
Kemiskinan dan penderitaan fisik dan mental yang
berkepanjangan;
Ø
Beban pajak yang berat
Ø
Pertanian, khusunya padi banyak mengalami
kegagalan panen;
Ø
Kelaparan dan kematian terjadi di mana-mana;
Ø
Jumlah penduduk Indonesia menurun;
Ø
Segi positifnya, rakyat Indonesia mengenal
teknik menanam jenis-jenis tanaman baru;
Ø
Rakyat Indonesia mulai mengenal tanaman dagang
yang laku dipasaran ekspor Eropa.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Sistem sewa tanah dijalankan oleh
Inggris, yaitu pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Stamford Raffles. Dalam
usahanya untuk menegakkan suatu kebijaksanaan kolonial yang baru, Raffles ingin
berpatokan pada tiga azas, antara lain:
a.
Segala bentuk dan jenis penyerahan wajib maupun
pekerjaan rodi perlu dihapuskan dan rakyat tidak dipaksa untuk menanam satu
jenis tanaman, melainkan mereka diberi kebebasan untuk menentukan jenis tanaman
apa yang akan ditanam;
b.
Peranan para bupati sebagai pemungut pajak dihapuskan
dan sebagai gantinya mereka dijadikan bagian integral dari pemerintahan
kolonial dengan fungsi-fungsi pememrintahan yang sesuai, perhatia mereka harus
terpusat pada pekerjaan-pekerjaan umum yang dapat meningkatkan kesejahteraan
rakyat.
c.
Para petani yang menggarap tanah dianggap sebagai
penyewa tanah milik pemerintah. Untuk penyewaan tanah ini para petani
diwajibkan membayar sewa tanah atau pajak atas pemakaian tanah pemerintah.
Pelaksanaan sistem sewa tanah yang
diperkenalkan oleh Gubernur Jenderal Stamford Raffles mengandung tujuan sebagai
berikut:
f.
Para petani dapat menanam dan menjual hasil panennya
secara bebas untuk memotovasi mereka agar bekerja lebih giat sehingga
kesejahteraannya mejadi lebih baik;
g.
Daya beli masyarakat semakin meningkat sehingga dapat
membeli baranng-barang industri Inggris;
h.
Pemerintah kolonial mempunyai pemasukan negara secara
tetap;
i.
Memberikan kepastian hukum atas tanah yang dimiliki
petani;
j.
Secara bertahap untuk mengubah sistem ekonomi barang
menjadi ekonomi uang.
Pelaksanaan sistem tanam paksa
(culturstelsel) sebenarnya merupakan usaha Pemerintah Hindia Belanda dalam
memperbaiki keungan di Hindia Belanda. Usaha tersebut sebenarnya sudah
dilakukan sejak masa pemerintahan Van der Capellen (1819-1825). Usaha-usaha
Belanda tersebut semakin mendapat hambatan karena persaingan dagang dengan
pihak Inggris. Apalagi setelah berdirinya Singapura pada tahun 1819,
menyebabkan peranan Batavia dalam perdagangan semakin kecil di kawasan Asia
Tenggara. Untuk kawasan Indonesia sendiri diperparah dengan jatuhnya harga kopi
dalam perdagangan Eropa. Karena kopi merupakan produk ekspor andalan pendapatan
utama bagi Belanda.
Dampak dari diperkenalkannya Sistem
Tanam Paksa dapat dirangkum sebagai berikut:
a.
Produksi tanaman perdagangan untuk pasar Eropa meningkat luar biasa. Produksi padi dan
tanaman perdagangan untuk pasar lokal mandek
atau memburuk
b.
Meningkatnya tekanan atas tanah, tetapi tekanan atas
tenaga kerjalah yang melupakan ciri paling penting dari sistem ini.
c.
Permintaan yang meningkat akan tenaga kerja ini tidak
hanya melupakan akibat dari sistem baru berupa kerja paksa, tetapi juga akibat
meningkatnya ketergantungan pada kerja kuli membangun jalan, jembatan, irigasi,
pelabuhan, benteng, gedung, dan pabrik, serta permintaan akan transportasi dan
tenaga kerja di bidang industry. Prasarana yang lebih baik merupakan salah satu
dampak sampingan itu.
d.
Moneterisasi yang semakin meningkat adalah soal lain
lagi. Ini tentu tidak berarti bahwa jawa sebelum 1830 adalah sebuah Naturalwirtschaft.
e.
Kedudukan para bupati dinaikan bersamaan dengan
penerimaan mereka pada budi daya dan peran baru mereka sebagai pengawas tanaman
yang diwajibkan sistem tanam paksa.
f.
Kepala desa kini diawasi lebih ketat, terutama oleh
pengumpul pajak dari pihak belanda. Keadaan ekonomi pengumpul pajak ini
mengalami perbaikan karena ia juga mendapat bagian dari barang rampasan itui
(persentase budi daya).
g.
Perubahan pemilikan tanah pribumi secara turun temurun
tetap berjalan
h.
Sistem ini menghasilkan cukup banyak bahan statistic.
Di sini saya hanya menyebut laporan budidaya tahunan (cultuur verslag, disingkat CV) sejak tahun 1834, dan laporan
Kolonial tahunan (koloniaal verslag,
disingkat KV) sejak 1849.
DAFTAR PUSTAKA
Sartono Kartodirjo, dkk, 1977, Sejarah
Nasional Indonesia, Jilid IV dan V, Jakarta: Balai Pustaka
Moedjanto, G. Drs. M.A., 1988, Sejarah
Indonesia Abad XX, Jilid I, Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Sartono Kartodirdjo, 1977, Sejarah
Nasional Indonesia Jilid IV, Jakarta: Balai Pustaka,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar