BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa
ini,tidak bisa kita pungkiri dan kita hindari bahwasanya kita hidup sekarang
pada lingkungan yang kritis dan demokrasi dari berbagai lapisan masyarakat yang
ada. Sebelum kita membahas nilai dan etika dalam pemerintahan demokrasi,ada
baiknya kita mengetahui apa yang di maksud dengan nilai, etika dan demokrasi.
Kita
ketahui nilai bersifat abstrak karena tidak dapat di kenali dengan panca indra
, hanya dapat ditangkap melalui benda atau tingkah laku yang mengandung nilai
itu sendiri. Etika adalah aturan perilaku, adat kebiasaan manusia dalam
pergaulan antara sesamanya dan menegaskan yang mana yang benar dan yang mana
yang buruk.
Demokrasi
berasal dari kata Demos yang berarti rakyat dan cratein yang berarti
memerintah. Jadi, demokrasi berarti pemerintahan rakyat, atau kekuasaan di
tangan rakyat. Abraham Lincoln, salah satu presiden Amerika Serikat ,
mengatakan bahwa pemerintahan demokrasi ialah pemerintahan yang di selenggarakan
dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Demokrasi
adalah pelaksanaan kekuasaan negara ialahh wakil rakyat yang terpilih karena
rakyat yakin segala kepentingannya akan terpenuhi.
Dalam
pelaksanaannya demokrasi telah banyak melewati waktu, dari abad ke-4 sebelum
masehi, hingga sekarang demokrasi menjadi suatu penyelenggaraan pemerintah yang
populer. Dalam perkembangan zaman modern, dan makin meningkatnya jumlah rakyat
suatu negara, serta bertambah luasnya wilayah negara, tidak mungkin lagi di
laksanakan pemerintahan dengan sistem demokrasi langsung. Pada zaman modern
ini, pada umumnya negara-negara melaksanakan pemerintahan demokrasi dengan cara
tidak langsung , yaitu dengan sistem perwakilan.
Apakah
pelaksanaan demokrasi sekarang telah sesuai dengan nilai dan etikanya? Dengan
adanya nilai dan etika berdemokrasi , setidaknya kita mengetahui bagaimana
penyelenggaraan pemerintahan demokrasi yang sesuai dengan semestinya.
1.
Tujuan
Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah
agar pembaca dapat lebih tau tentang nilai-nilai dan etika apa saja yang
terdapat dalam pemerintahan demokrasi dan juga menambah wawasan bagi pembaca
maupun penulis sendiri.
BAB II
ISI
Nilai dan Etika Dalam Pemerintahan Demokrasi
ISI
Nilai dan Etika Dalam Pemerintahan Demokrasi
1. Demokrasi Yang Berlandaskan Nilai
Ketuhanan
Demokratisasi adalah sebuah tatanan kehidupan umat yang
ditandai dengan harmonisasi interaksi kepentingan umat tersebut secara adil dan
merata. Kesadaran untuk mewujudkan hal tersebut seyogyanya dipikul bersama
dalam sebuah visi yang terintegrasi walupun dengan pelaku dan profesi yang
berbeda-beda. Sistem demokrasi meniscayakan sebuah prinsip keterwakilan, salah
satu mekanisme yang banyak digunakan oleh bangsa di dunia ini, adalah
penyerahan amanah dari banyak orang (seluruh rakyat suatu bangsa) kepada
sebagian orang melalui metode pemilihan umum. Berbekal kepercayaan akan
kemampuan masing-masing wakil rakyat tersebut, bergantung sejuta harapan, hari
esok yang lebih baik bagi kehidupan berbangsa.
Namun demikian sistem demokrasi yang dijalankan ternyata memiliki kekurangan, yang mungkin banyak disebabkan oleh aktor pelakunya atau memang sistem tersebut memberi ruang perilaku menyimpang dapat bergerak secara leluasa. Goenawan Mohamad mengungkapkan bahwa dalam demokrasi, kebenaran tidak ditentukan oleh orang kuat yang serba tahu. Kebenaran justru berasal dari orang-orang ramai dengan kemampuan yang terkadang sangat biasa. Demokrasi, ibarat sebuah pasar dimana semua orang berkumpul dan bertumpuk di sana dan melakukan tawar menawar untuk mencapai kesepakatan, walaupun kadangkala kesepakatan yang diambil bukanlah yang terbaik.
Namun demikian sistem demokrasi yang dijalankan ternyata memiliki kekurangan, yang mungkin banyak disebabkan oleh aktor pelakunya atau memang sistem tersebut memberi ruang perilaku menyimpang dapat bergerak secara leluasa. Goenawan Mohamad mengungkapkan bahwa dalam demokrasi, kebenaran tidak ditentukan oleh orang kuat yang serba tahu. Kebenaran justru berasal dari orang-orang ramai dengan kemampuan yang terkadang sangat biasa. Demokrasi, ibarat sebuah pasar dimana semua orang berkumpul dan bertumpuk di sana dan melakukan tawar menawar untuk mencapai kesepakatan, walaupun kadangkala kesepakatan yang diambil bukanlah yang terbaik.
Pada gilirannya demokrasi gagal menghentikan kecenderungan
oligarkis untuk muncul ke permukaan, apalagi dalam sistem demokrasi prosedural
dimana prinsip keterwakilan menjadi hal yang utama. Kaum elit yang memiliki
intelektual dan finansial akhirnya berlomba-lomba membeli suara rakyat dengan
mekanisme pasar bebas dimana modal besar yang menguasai akhirnya menciptakan
kesepakatan bersama yang berpihak kepada pemilik modal.
Dinamika
kehidupan berbangsa (pengelolaan negara) nampaknya selalu ditentukan oleh
faktor intelektualitas, finansial, dan kepemimpinan. Dan ketiga faktor ini
selalu direpresentasikan oleh elite (segelintir orang), karena pendidikan
berkualitas hanya didapat oleh orang yang memiliki finansial yang banyak
kemudian dengan keintelektualannya itu ia menjadi figur yang dianggap memiliki
kapabilitas memimpin tanpa ada verifikasi melalui moral untuk menjadi seorang
pemimpin.
Sedangkan rakyat dengan kemampuan standar yang beragam hanya
terkotak-kotakan dan tidak memiliki antibody menangkal benturan akibat
disparitas ilmu pengetahuan, hal ini yang menyebabkan pengelolaan negara jatuh
dalam sistem oligarki. Suara rakyat posisinya menjadi abstrak, biasanya
kedaulatan rakyat itu dimanipulasi oleh parpol-parpol demi kepentingan
politiknya. Dukungan pemilih kerap sekedar hanya dijadikan anak-tangga politik,
sebagai legitimasi politik agar parpol eksis, terutama para elitenya agar mendapat
bagian dalam pemerintahan.
Berbagai manuver dilakukan untuk mempengaruhi proses
demokrasi yang berpihak kepada pemilik modal, sementara rakyat biasa hanya jadi
legitimasi sistem kapitalistik. Alih-alih mencapai kesejahteraan, tidak jarang
justru demokrasi hanya mejadi dalih para pemegang kekuasaan (pemerintah)
melanggengkan sistem yang tidak seimbang dalam pengelolaan sumber daya alam
atau dengan kata lain mengeskploitasi bumi demi kekekayaan segelintir orang
bukan demi kepentingan kehidupan masyarakat sekitar.
Seperti mengulang peringatan dari Pengamat politik Jeffrey A
Winters paska pemilu tahun 2004, dia mengingatkan kepada kita semua bahwa
kekuatan oligarki makin liar tak terkendali menyebabkan Indonesia makin
eksplosif. Terjadi ketidakstabilan di hampir seluruh sektor, terutama di sektor
politik, ekonomi, dan sosial, karena gesekan persaingan kepentingan antara
kekuatan oligarki. Oligarki politik terjadi tatkala parpol-parpol bernegosiasi
dengan capres dan cawapres dengan tawar menawar posisi kabinet pemerintahan
yang akan dibentuk.
Kesan kuat yang bisa ditangkap publik, adalah kekuatan
partai politik saling melakukan tawar-menawar politik, bahkan terkadang absurd
alias jauh dari kehendak publik. Bagaimanapun juga demokratisasi adalah
bukanlah sebuah sistem yang sempurna. Faktanya, demokrasi yang diterapkan dan
diperjuangkan oleh banyak negara di dunia, nampaknya belum mampu mengangkat
harkat kesejahteraan manusia seutuhnya.
Lebih ekstrim lagi, ulama Pakistan Abul A’la Al Maududy
secara tegas menolak teori kedaulatan rakyat (sebagai inti dari demokrasi)
karena bersifat semu, dengan alasan pertama, kedaulatan tertinggi adalah di
tangan Tuhan, Tuhan sajalah yang berhak menjadi pembuat hukum. Manusia adalah
mahluk yang mematuhi hukum dan tidak mempunyai otoritas untuk membuat hukum.
Kedua, pada dasarnya praktik “kedaulatan rakyat” hanya menjadi omong kosong.
Partisipasi politik rakyat dalam faktanya hanya di lakukan setiap empat atau
lima tahun sekali saat pemilu, sedangkan kendali pemerintahan sehari-hari
sesungguhnya berada di tangan segelintir penguasa yang sekalipun mengatasnamakan
rakyat tetapi malah sering menindas rakyat demi kepentingan pribadi
Bukan lantas kita menyalahkan demokrasi, tetapi mari kita
berkaca terhadap aktor-aktor yang menjalankan demokrasi tersebut. Seharusnya
ada nilai-nilai luhur yang diagungkan serta menjadi pembatas antara benar dan
salah. Agama Islam mengajarkan bahwa dengan ketauhidanlah semua harapan
universal umat manusia tentang kesejahteraan bisa dimanifestasikan. Karena
dengan kesadaran tauhid yang terimplementasi dalam tiap tatanan kehidupan keumatan,
adalah sebuah pemerataan kesejahteraan secara menyeluruh tanpa adanya
penindasan dengan prinsip pertanggungjawaban terhadap segala amanah yang
diterimanya kepada Allah Sang Pencipta. Manusia diperintahkan untuk tetap
menjaga nilai-nilai luhur (etika atau moral politik) yang telah digariskan
oleh-Nya, proses demokratisasi haruslah berlandaskan pada nilai ketuhanan yang
membebaskan penyembahan sebagian manusia kepada sebagian lainnya.
2. Nilai dan Etika Demokrasi Indonesia
Indonesia, negara kepulauan nan subur dan elok ini rupanya
telah menjadi perhatian dunia sejak lama. Dari sisi ini, terbukti, beberapa
negara dari Eropa pernaha berebut untuk menginvasi dan menjajah negeri.
Kekayaan alamnya menjadi aset penting yang bernilai ekonomi tinggi. Wilayah
dengan banyak pulau ini pun mempunyai daya tarik tersendiri dari sisi budaya.
Suku-suku yang teramat beragam disatukan dalam kesatuan bangsa dan membentuk
sebuah negara bangsa.
Yang cukup menarik di sini adalah bagaimana wilayah yang terpisah laut dan mengisolasi penduduknya sehingga menimbulkan budaya-budaya tersendiri dapat menyatu baik secara administratif mapun psikologis? Hal yang amat mengagumkan mengingat hal ini berbeda sekali dengan proses terbentuknya negara lain pada umumnya.
Yang cukup menarik di sini adalah bagaimana wilayah yang terpisah laut dan mengisolasi penduduknya sehingga menimbulkan budaya-budaya tersendiri dapat menyatu baik secara administratif mapun psikologis? Hal yang amat mengagumkan mengingat hal ini berbeda sekali dengan proses terbentuknya negara lain pada umumnya.
Negara pada keadaan normal terbentuk sebab beberapa hal
esensial. Yang pertama adalah kesamaan budaya. Hal ini jelas, karena tanpa
adanya kesamaan budaya, suatu konsensus untuk membentuk sebuah negara akan
mustahil atau paling tidak akan sangat sulit mencapainya. Yang dipengaruhi di
sini mencakup beberapa aspek, seperti komunikasi antarmasyarakat atau kelompok,
perbenturan adat dan ideologi, sentimen dan simpati, dan yang pada akhirnya
menyentuh pada aspek kepentingan antarmasyarakat atau kelompok tersebut.
Sedikit perbedaan ideologi dan bahasa saja misalnya, akan dapat dengan mudah
memberikan nuansa perbedaan fundamen dalam semangat pembentukan negara baru.
Berikutnya, yang dapat mendorong
terbentuknya sebuah negara adalah faktor luar seperti tekanan pihak luar atau
penjajahan bangsa lain. Hal ini pada perkembangannya akan mempengaruhi
kerjasama antarkelompok dan tentunya sedikit banyak akan mengikis kerasnya
tembok adat dan budaya yang membatasinya. Kasus seperti inilah yang terjadi di
Indonesia yang telah melewati masa-masa kolonial beratus tahun.
Penjajahan oleh bangsa lain yang
menindas tersebut berimplikasi pada kesamaan pada sisi psikologi sebagai kaum
terjajah. Berbagai gerakan perlawanan sporadis pun berkembang menjadi semangat
untuk mengusir musuh bersama bangsa, yaitu penjajah.
Puncak perlawanan bangsa di
nusantara terjadi menyusul kekalahan Jepang atas tentara sekutu dengan
dijatuhkannya bom atom di dua kota negara tersebut. Kaum muda mendesak untuk
disegerakannya deklarasi kemerdekaan dan pada 17 Agustus 1945, Soekarno mengumandangkan
proklamasi kemerdekaan dan sekaligus menjadi dasar semangat yang satu yaitu
semangat berbangsa Indonesia.
Perjalanan Sistem di Indonesia
Proklamasi kemerdekaan yang telah
berkumandang tersebut seakan menjadi bahan bakar tambahan yang efektif untuk
mengusir sisa-sisa penjajahan di wilayah Indonesia. Berbagai perebutan gedung
dan penaklukan tentara musuh gencar dilakukan. Pada saat itu, semua orang
mempunyai satu tujuan, pembentukan Indonesia sebagai negara yang benar-benar
merdeka.
Setelah adanya proklamasi dan Indonesia telah berdiri menjadi satu negara merdeka, dimulailah jalannya pemerintahan. Layaknya negara berdaulat lainnya, Indonesia pun menjalankan laju pemerintahan dengan sistem dan model tertentu. Demokrasi adalah model yang cenderung digunakan di negara ini.
Setelah adanya proklamasi dan Indonesia telah berdiri menjadi satu negara merdeka, dimulailah jalannya pemerintahan. Layaknya negara berdaulat lainnya, Indonesia pun menjalankan laju pemerintahan dengan sistem dan model tertentu. Demokrasi adalah model yang cenderung digunakan di negara ini.
Namun rupanya model-model tersebut
pun mengalami apa yang dinamakan perkembangan dan “aktualisasi”. Sejarah model
kepemerintahan di Indonesia secara kronologis dapat dibagi dalam tiga masa
yaitu masa Republik Indonesia I, II, dan III.Masa pertama disebut sebagai
Demokrasi Parlementer dimana parlemen dan peran partai sangat menonjol.
Perjalanan sistem Demokrasi Parlementer (1945-1959) yang menjadikan
Undang-Undang Dasar (UUD) 1950 ini ternyata kurang cocok dengan keadaan dan
politik di Indonesia. Partai politik yang terlalu mendominasi dalam parlemen
pun membuat kinerja pemerintahan tidak berjalan dengan baik. Dalam mekanisne
Pemilihan Umum (Pemilu) pun pada masa ini terjadi banyak konflik dan
ketidakharmonisan antartingkatan pemerintah. Hal-hal itulah yang mendorong
inisiatif Soekarno sebagai presiden untuk mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5
Juli yang mencetuskan berlakunya kembali UUD 1945 dan mengakhiri sistem
parlementer.
Masa kedua adalah masa Demokrasi
Terpimpin (1959-1965) dengan Soekarno sebagai poros dalam setiap bidang. Masa
kepemimpinan inilah yang disebut-sebut sebagai masa kepemimpinan yang
menyimpang.
Titik puncak kekecewaan meledak pada
Mei 1998 menjadi keadaan chaos yang melibatkan seluruh elemen masyarakat.
Demokrasi Pancasila ala Orde Baru (Orba) itu runtuh melalui proses reformasi
revolutif.Kriminalitas dan kekacauan kala itu bahkan diperkirakan mencapai
trilyunan rupiah. Tujuan penggulingan kekuasaan Soeharto berbaur dengan
banyaknya pemerkosaan, kekerasan, pencurian, dan tindakan anarkis.
Sampai-sampai ada istilah bahwa jika saat itu satu teriakan revolusi saja
dikeluarkan, maka gelombang anarki massa akan terpantik.
Gerakan reformasi Mei 1998 membuka jalan lebar untuk pengungkapan ketidakpuasan massal yang terpendam.Soeharto turun dan mulai saat itu dimulailah era baru, yang benar-benar serba baru. Segala sesuatu yang berbau Orba seakan sangat sensitif dan wajib sesegera mungkin dihilangkan. Konsep Demokrasi Pancasila sebagai sistem pemerintahan tetap dipertahankan secara istilah, namun pelaksanaannya amat berubah.
Gerakan reformasi Mei 1998 membuka jalan lebar untuk pengungkapan ketidakpuasan massal yang terpendam.Soeharto turun dan mulai saat itu dimulailah era baru, yang benar-benar serba baru. Segala sesuatu yang berbau Orba seakan sangat sensitif dan wajib sesegera mungkin dihilangkan. Konsep Demokrasi Pancasila sebagai sistem pemerintahan tetap dipertahankan secara istilah, namun pelaksanaannya amat berubah.
Permukaan Yang Dangkal Kebijakan
reduksi tiga partai semasa Orba dihilangkan. Seakan euphoria, semua orang yang
pada masanya terkungkung oleh pembatasan dalam berpolitik, setelah runtuhnya
Orba kemudian membikin parpolnya masing-masing. Semua elemen masyarakat dapat
berperan aktif dalam pemerintahan. Demokrasi, Memang, mau tidak mau preseden
sejarah tersebut menunjukkan bahwa muncul “kesenangan” atau mungkin pada
perkembangannya dapat disebut juga “kekagetan” karena diberi kebebasan luar
biasa. Kondisi bebas berserikat dan mengeluarkan pendapat sontak menimbulkan
banyaknya parpol yang muncul, siapapun boleh dan dengan mudah mendirikan
parpol. Hal ini terjadi hingga pada Pemilu 1999 parpol yang terdaftar mencapai
48. Abdurrahman Wahid yang kala itu naik menjadi presiden mengantikan presiden
“sementara”, B. J. Habiebie. Tak ubahnya badai yang tidak begitu saja reda,
aura reformasi dengan nuansa chaotic-nya masih saja santer dalam pemerintahan
baru ini. Kebijakan Gus Dur (sebutan Abdurrahman Wahid) yang dirasa terlalu
kontroversi mengakibatkan resistensi dari lingkungan sekitar. Opini publik pun
dibangun untuk menyudutkan Gus Dur. Alhasil hanya dalam kisaran belasan bulan
Gus Dur turun dari kursi kepresidenan dan digantikan oleh wakilnya, Megawati.
Terdapat sebuah kotraproduksi di
sini, di saat kebijakan yang reformatif dikeluarkan malah mendapat tangapan
yang negatif dari sekelilingnya. Kebijakan yang benar-benar mengubah bentuk dan
isi cerminan budaya Orba dalam strutur pemerintahan rupanya tidak mendapat
angin segar semangat reformasi Mei 1998. Di satu sisi reformasi terus
diteriakkan, namun di sisi lainnya aktualisasi reformasi, dalam bentuk
kebijakan yang mengubah, seakan berat untuk dilakukan. Status quo masih menjadi
sesuatu yang dipertahankan. Terlihat bahwa ternyata masyarakat dan orang-orang
pemerintahan sebenarnya masih “bingung” dengan apa arti kata reformasi.
Analogi sederhana, musuh bersama
sudah lenyap. Seperti pada sejarah masa lampau nusantara bahwa perbedaan
wilayah dan budaya ternomorsekiankan dan semangat pengusiran penjajah
dinomorsatukan, hal ini juga terjadi pra-1998. Namun pada saat tujuan telah
tercapai, apa yang akan atau mau diagendakan selanjutnya? Inilah yang belum ada
mengingat rupanya reformasi kala itu hanya bertujuan penggulingan kekuasaan
Soeharto.
Angkatan bersenjata (kalangan
militer) yang seharusnya menjadi pengawas perubahan era reformasi, bahkan
mungkin harus menjadi motor, masih dapat dibilang belum menunjukkan taringnya.
Padahal momen inilah yang sebenarnya menjadi sangat penting mengingat pasca
gerakan reformasi 1998 adalah saat tepat bagi angkatan bersenjata memulihkan
citra dan menebus dosa lamanya semasa Orba. Lagipula mengapa harus ABRI, itu
dikarenakan sifatnya yang dapat bergerak cepat baik secara fisik maupun
mobilisasi dan akses info.Dan sayangnya hal tersebut tidak dimaksimalkan,
paling tidak sebagai upaya pemulihan nama baik pasca-Orba.
Kondisi yang masih belum stabil ini terus berlanjut. Selepas kepemimpinan Gus Dur sebagai presiden dan digantikan oleh Megawati, arus penentangan pun masih saja mengalir cukup deras. Beberapa golongan yang tidak puas mengatakan bahwa Megawati adalah sosok yang tidak kompeten menjalankan tugas berat seorang presiden. Anggapan mengenai nama besar ayahnya yang terlalu dipolitisasi didengungkan, sejalan pula dengan keadaan secara fisik bahwa Megawati adalah perempuan.
Kondisi yang masih belum stabil ini terus berlanjut. Selepas kepemimpinan Gus Dur sebagai presiden dan digantikan oleh Megawati, arus penentangan pun masih saja mengalir cukup deras. Beberapa golongan yang tidak puas mengatakan bahwa Megawati adalah sosok yang tidak kompeten menjalankan tugas berat seorang presiden. Anggapan mengenai nama besar ayahnya yang terlalu dipolitisasi didengungkan, sejalan pula dengan keadaan secara fisik bahwa Megawati adalah perempuan.
Dengan beberapa kali mengganti
pembantunya dalam menjalankan tugas sebagai presiden, terlihat bahwa memang
pada saat itu siapapun yang menjadi RI 1 (red. Presiden) akan berhadapan dengan
percobaan penggulingan atau paling tidak untuk mempertahankan status quo di
wilayahnya. Status quo yang dimaksud di sini tentunya jelas, bahwa kondisi yang
serba tidak menentu memberikan celah untuk seseorang tetap duduk dalam jabatan
dan kekuasaannya. Jika bukan demikian paling tidak status quo yang dimaksud
adalah kondisi di mana semuanya menjad abu-abu, karena keadaan yang tidak
stabil dan menentu tadi, sehingga seseorang pada jabatannya akan dengan mudah
“melakukan” sesuatu.
Stagnasi dalam status quo memang
manjadi tempat dan waktu yang nyaman, mengingat di sana seseorang dapat tidak
kelihatan saat melakukan sesuatu yang menyimpang, dan juga garis wewenang tidak
jelas. Jika kedua hal itu tidak terjadi, paling tidak status quo dapat menjadi
tempat beberapa gelintir orang untuk mencari penghasilan, semisal dengan adanya
struktur yang sebenarnya tidak perlu diadakan.
Seperti pada satu contoh kasus
perampingan struktur lembaga negara saat masa Gus Dur. Begitu naiknya Gus Dur
dalam pemerintahan, beberapa lembaga/departemen pemerintah dihapuskan. Hal ini
juga menimbulkan kesan-kesan laten bahwa sebenarnya Indonesia belum lepas
sepenuhnya dari gaya lama Orba dengan militer sebagai tokoh utama yang
menentukan.
Dalam keadaan normal, militer hanya melaksanakan kebijakan pembangunan pertahanan negara yang digariskan oleh pemerintah, dan itupun tidak boleh lagi menentukan kebijakannya sendiri yang mengatasnamakan kepentingan negara. Dengan idealisme seperti itu, jika di bawa dalam kenyataan sekarang bagaikan pungguk merindukan bulan. Sangat jauh dari kenyataan dan sulit. Politik militer ternyata menjadi suatu oposisi pada pemerintahan sipil.
Dalam keadaan normal, militer hanya melaksanakan kebijakan pembangunan pertahanan negara yang digariskan oleh pemerintah, dan itupun tidak boleh lagi menentukan kebijakannya sendiri yang mengatasnamakan kepentingan negara. Dengan idealisme seperti itu, jika di bawa dalam kenyataan sekarang bagaikan pungguk merindukan bulan. Sangat jauh dari kenyataan dan sulit. Politik militer ternyata menjadi suatu oposisi pada pemerintahan sipil.
Bukan sesuatu yang tabu sebenarnya
jika militer berpolitik. Namun yang menjadi masalah adalah pada saat sipil dan
militer dihadapkan, maka keduanya seakan saling menegasikan antara satu dengan
yang lain. Naiknya SBY dalam puncak arena politik 2004 pun dipandang sebagai
kemenangan militer sebagai nomor satu, dan sipil sebagai nomor duanya. Hal ini
juga menunjukkan bahwa sebenarnya dalam perpolitikan dalam negeri yang terjadi
hanyalah sebatas politik perebutan kekuasaan, antara kekuatan satu dengan yang
lain. Dukungan militer pun, yang seharusnya menjadi sebuah keharusan mutlak
dalam menjalankan pemerintahan stabil, bagai negosiasi politik antara aktor
satu dengan kekuatannya dan militer dengan kekuatannya sendiri.
Melihat hal tersebut, dapat dikatakan esensi dari reformasi itu sendiri sudah hilang beberapa tahun lalu, tepatnya pasca-Mei 1998. Yang terjadi setelah itu adalah tak ubahnya perebutan kekuasaan yang tidak begitu berbeda dengan masa Orba. Perbedaan kecil mungkin pada aktor yang bermain di sana: pada masa Orba militer adalah satu-satunya tokoh, sedangkan pasca-Mei 1998 muncul beberapa tokoh lain yang ikut permainan politik negeri yang itupun hanya menjadi buih ditengah kuatnya ombak kekuatan militer.
Melihat hal tersebut, dapat dikatakan esensi dari reformasi itu sendiri sudah hilang beberapa tahun lalu, tepatnya pasca-Mei 1998. Yang terjadi setelah itu adalah tak ubahnya perebutan kekuasaan yang tidak begitu berbeda dengan masa Orba. Perbedaan kecil mungkin pada aktor yang bermain di sana: pada masa Orba militer adalah satu-satunya tokoh, sedangkan pasca-Mei 1998 muncul beberapa tokoh lain yang ikut permainan politik negeri yang itupun hanya menjadi buih ditengah kuatnya ombak kekuatan militer.
Reformasi sendiri adalah suatu
perubahan untuk memperbaiiki masalah sosial , politik, dan agama dalam suatu
masyarakat atau negara. Reformasi yang seharusnya menjadi masa perubahan sistem
itu hanya dipahami sebagai usaha penggulingan kekuasaan Soeharto, tidak lebih.
Padahal seharusnya dengan adanya masa-masa pembukaan katup perubahan seperti
ini, reformasi yang dilakukan tidak hanya sebatas masalah perubahan siapa tokoh
yang menjadi presiden.
Hal-hal seperti ini menjadikan
keraguan tersendiri mengenai bagaimana pemahaman masyarakat dan elit mengenai
makna reformasi, terlebih untuk mencapai budaya demokratis yang menjadi impian
Gerakan Reformasi itu sendiri. Satu-satunya perubahan yang dinilai sedikit
mampu menyentuh ujung nilai demokrasi pasca-Mei 1998 “hanyalah” pengakuan Kaum
Tionghoa, yang pada masa Soeharto menjadi warga nomor dua, bahkan sampai pada
tidak diakuinya agama Konghucu, yang kesemua itu berimplikasi pada
tindak-tindak pelanggaran HAM.
Kontraproduksi Jika Hanya Bicara
Istilah Kebebasan Setelah itu, kita pun bingung apa yang bisa dikatakan
reformasi lagi. Perubahan-perubahan yang terjadi penggulingan Soeharto pun
belum ada yang esensial. Bagian mananya yang dapat dikatakan reformasi kembali
menuju pada demokrasi? Reformasi dan demokrasi yang dipahami sebagai perubahan
dan kebebasan itu pun dijadikan rujukan legitimasi dalam melakukan “perubahan”
dan “kebebasan”.
Tersebutlah demokrasi, sebuah sistem politik dan pemerintahan yang muncul sebagai respons atas semangat kesederajatan dan kebebasan. “Government of people, by the people, for the people” yang menjadi acuan norma kehidupan bernegara tersebut seakan telah menjadi titik “konsensus” internasional. Terlepas dari beberapa perdebatan mengenai kecocokan ideologinya, mayoritas negara di dunia sepakat bahwa nilai dalam sistem demokrasi adalah yang relevan dengan perkembangan saat ini.
Tersebutlah demokrasi, sebuah sistem politik dan pemerintahan yang muncul sebagai respons atas semangat kesederajatan dan kebebasan. “Government of people, by the people, for the people” yang menjadi acuan norma kehidupan bernegara tersebut seakan telah menjadi titik “konsensus” internasional. Terlepas dari beberapa perdebatan mengenai kecocokan ideologinya, mayoritas negara di dunia sepakat bahwa nilai dalam sistem demokrasi adalah yang relevan dengan perkembangan saat ini.
Tumbangnya pemerintahan Orba,
kondisi bebas berpolitik dan berserikat sontak menimbulkan munculnya banyak
parpol dengan jumlah mencapai 48 partai pada Pemilihan Umum (Pemilu) 1999. Hal
ini memperlihatkan bagaimana telah memuncaknya hasrat politik masyarakat yang
terpendam semasa Orba. Seakan eforia, siapapun bisa membentuk sebuah partai
sejak saat itu.
Akan tetapi yang menjadi pertanyaan
adalah, apakah pada Pemilu 2004 dengan 24 partai dan Pemilu 2009 ini dengan 38
partai dan 6 partai lokalnya itu masih akan dimaklumi sebagai sebuah eforia?
Atau keadaan seperti inilah yang menunjukkan keberhasilan demokrasi pada suatu
negara?
Konsep demokrasi sendiri sebenarnya
telah berkembang dalam tataran nilai, bukan hanya sebatas bentuk fisik dari
sebuah sistem politik dan pemerintahan. Secara fisik (konstitusional),
demokrasi adalah suatu ide mengenai bentuk pemerintahan di mana tidak ada
kesewenang-wenangan, kebebasan diakui, penjaminan hak masyarakat termasuk dalam
berserikat dan lain-lain, serta hukum netral yang berlaku.
Untuk perwujudannya, konsep seperti
itu akan dengan sangat mudah diterapkan di manapun. Namun demokrasi mempunyai
makna yang lebih substansial yaitu dalam kandungan nilai demokrasi itu sendiri.
Banyaknya jumlah parpol di Indonesia
pada beberapa periode ini sebenarnya sudah merupakan keberhasilan tersendiri
bagi perwujudan konsep demokrasi dalam sistem pemerintahan. Jumlah partai pun
dapat dipahami sebagai diakuinya hak politik dan berserikat bagi masyarakatnya.
Namun sejumlah partai tersebut pada
perkembangannya telah gagal menjalankan fungsi aspiratifnya yang merupakan
tugas utama sebuah partai. Partai hanya menjadi sarana mobilisasi suara dalam
Pemilu. Bahkan tidak terhitung pula kasus politik uang dan penyimpangan lain
dalam pesta demokrasi tersebut yang telah terjadi.
Komunikasi yang dilakukan partai
politik pun hanya sebatas komunikasi politik limatahunan menjelang Pemilu tanpa
diimbangi dengan penjaminan kepentingan masyarakat. Dan kemudian pada akhirnya
berujung pada koalisi partai pragmatis demi pencapaian dan pembagian kekuasaan
dalam pemerintahan.
Suatu hal yang memalukan jika kita
menganggap perkembangan budaya politik yang seperti ini sebagai cerminan dan
keberhasilan demokrasi. Memang sebagian konsep demokrasi, yaitu kebebasan,
dapat terwujud di sini. Tetapi di sisi lain nilai demokrasi yang lebih penting
telah terlewatkan, terlebih pada demokrasi Pancasila-nya: kebebasan yang tidak
melupakan sisi kemanusiaan, persatuan, dan keadilannya untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat. Kedewasaan budaya politik para elit masih amat minim
dan masyarakat hanya dihadapkan dengan ilusi demokrasi, bukan nilai demokrasi
yang sesungguhnya.
Ada lagi kasus lain yang
mengenaskan. Tanggal 3 Februari 2009 lalu adalah hari yang telah menambah noda
hitam dalam sejarah demokrasi di Indonesia. Anarkisme massa berbuah hilangnya
nyawa ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Utara Abdul Aziz
Angkat ini adalah pelecehan pada budaya demorasi yang sesungguhnya. Rakyat
Sumatera Utara kala itu menuntut pemekaran daerah Tapanuli menjadi Propinsi
Tapanuli (Protap). Kearifan bangsa, yang dielukan sebagai hal paling dijunjung
tinggi pun seakan runtuh bersamaan dengan jebolnya pintu masuk Gedung DPRD
Sumut oleh amuk massa. Legitimasi aksi massa dengan dalih penuntutan kebebasan
“berkeinginan” yang demokratis menimbulkan biaya yang teramat tinggi.
Banyaknya jumlah parpol, aspirasi
otonomi daerah, dan banyak lagi yang lain memang adalah hal yang harus dihargai
dalam konteks kebebasan berpendapat. Namun perlu diingat, jika legitimasi
kebebasan yang dimaksud hanyalah suatu upaya memperjuangkan kepentingan
segelintir golongan, itu akan menyebabkan distorsi makna dari demokrasi itu
sendiri. Demokrasi yang pada intinya adalah pemerintahan dengan trias
politica-nya tersebut perlu dipahami secara epistemologi, bukan hanya
etimologi.
Trias Politica dengan pemisahan
kekuatan dalam pemerintahan pun harus dipahami sebagai usaha yang, kala itu,
sangat efektif untuk mencegah kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan. Seperti
pada ungkapan Lord Acton, “power tends to corrupt, and absolute power corrupts
absolutely”, yang dapat diartikan bahwa kekuatan apapun mempunyai kecenderungan
untuk salah, terlebih jika kekuatan tersebut absolut dan tidak ada yang bisa
mengontrol. Itulah sebenarnya yang diperjuangkan dalam demokrasi dan sistemnya.
Sangat kontraproduktif saat sebuah
kebebasan malah menjadikan semuanya kacau dan jor-joran (asal dan tidak
terkontrol). Seperti pada kasus tuntutan (sebagian oknum) rakyat Sumatera Utara
yang melakukan aksi anarki karena ketidakpuasan dengan keputusan Abdul Aziz
Angkat yang menolak pemekaran. Atau di saat Kalla, yang sedang menjabat sebagai
wakil presiden, mengatakan bahwa demokrasi adalah persoalan persaingan dan
perbedaan, jika tidak berbeda dan bersaing maka bukan demokrasi.
Demokrasi macam apa jika yang
terjadi hanyalah kasus-kasus seperti itu? Namun, apakah dengan seperti itu
berarti demokrasi tidak pas jika diterapkan di Indonesia? Hal inilah yang oleh
beberapa gelintir golongan menjadi sebagian argumen mengenai penolakannya terhadap
demokrasi. Dengan pendapat lain juga bahwa demokrasi tidak sejalan dengan Islam
karena meletakkan kedaulatan di tangan rakyat, bukan Tuhan, maka demokrasi
disimpulkan adalah sistem yang tidak cocok untuk Indonesia.
Kontraproduksi Jika Hanya Bicara Istilah
Secara Fisik: Agama dan Negara
Budaya dan cara Barat pun dijadikan argumen utama mengenai ketidakcocokan demokrasi untuk Indonesia. Sebenarnya dasar seperti itulah yang kurang substansial dan kurang dapat memaknai konsep demokrasi sebagai konsep universal secara istilah maupun nilai yang terkandung di dalamnya. Kurang tepat juga sebenarnya pada saat menolak sebuah metode/konsep (demokrasi) hanya semata-mata secara istilah maupun karena siapa yang mengeluarkan idenya itu.
Ungkapan seorang ilmuwan, Giovanni Sartori, “Jika kita berbicara tentang pengalaman Barat, apakah kata kuncinya itu ‘Barat’ atau ‘pengalaman’?”Hal yang diungkapkan ilmuwan yang mempunyai nama bernuansa Barat ini juga tidak bisa selayaknya serta-merta langsung ditentang karena namanya itu.
Budaya dan cara Barat pun dijadikan argumen utama mengenai ketidakcocokan demokrasi untuk Indonesia. Sebenarnya dasar seperti itulah yang kurang substansial dan kurang dapat memaknai konsep demokrasi sebagai konsep universal secara istilah maupun nilai yang terkandung di dalamnya. Kurang tepat juga sebenarnya pada saat menolak sebuah metode/konsep (demokrasi) hanya semata-mata secara istilah maupun karena siapa yang mengeluarkan idenya itu.
Ungkapan seorang ilmuwan, Giovanni Sartori, “Jika kita berbicara tentang pengalaman Barat, apakah kata kuncinya itu ‘Barat’ atau ‘pengalaman’?”Hal yang diungkapkan ilmuwan yang mempunyai nama bernuansa Barat ini juga tidak bisa selayaknya serta-merta langsung ditentang karena namanya itu.
Dalam revolusi Iran yang diprakarsai
Ayatullah Khomeini dan beberapa ulama serta intelektual Iran, pada dasarnya
adalah pengubahan sistem negara yang terlalu otoriter dengan sistem lamanya.
Dinasti Pahlevi dengan tradisi kerajaannya selama 2500 tahun itu pun berhasil
diubah menjadi sistem republik, Republik Islam Iran.Perubahan drastis yang
terjadi, pengekangan hak oleh rezim sebelumya telah runtuh dan tergantikan dengan
masa partisipasi masyarakat.
Dalam ajaran Islam sendiri, juga
semua agama tentunya, akan mendukung segala hal yang berhubungan dengan
kesejahteraan rakyatnya walaupun dengan catatan tidak melangar norma agamanya
masing-masing. Dan jika berbicara pada tingkatan nilai –saya tegaskan lagi,
nilai-, semua konsep dalam demokrasi tidak ada yang bertentangan dengan ajaran
Islam. Pada istilah “Government of people, by the people, for the people”, yang
mempunyai kesimpulan bahwa kedaulatan di tangan rakyat, juga bukan serta-merta
mendiskreditkan kedaulatan Tuhan (Allah), yang dalam ajarannya adalah sebagai
pusat semesta alam.
Peristilahan kedaulatan di tangan
rakyat itu jelas berbeda konteks dengan konsep Tuhan sebagai pusat semesta alam
yang hanya dengan ketentuannyalah kita menjalankan segala kegiatan duniawi
sebagai bekal ukhrawi (akhirat). Walaupun terpantiknya revolusi Iran tidak
secara gamblang disebutkan sebagai gerakan tuntutan sistem demokrasi
menggantikan monarki otoriter, namun jelas yang diinginkan rakyat kala itu
adalah palaksanaan nilai-nilai demokrasi.
Argumen bahwa agama harus dipisahkan dengan perpolitikan maupun kegiatan bernegara juga sebenarnya merupakan bumerang bagi argumen itu sendiri. Walaupun dimaksudkan supaya agama tidak “tercemar” urusan politik, namun itu menjadi sebuah kedangkalan pemahaman. Agama dan politik/negara seharusnya malah tidak boleh dipisahkan. Hal ini karena kegiatan politik dan bernegara harus dilandasi dengan nilai Islam.
Argumen bahwa agama harus dipisahkan dengan perpolitikan maupun kegiatan bernegara juga sebenarnya merupakan bumerang bagi argumen itu sendiri. Walaupun dimaksudkan supaya agama tidak “tercemar” urusan politik, namun itu menjadi sebuah kedangkalan pemahaman. Agama dan politik/negara seharusnya malah tidak boleh dipisahkan. Hal ini karena kegiatan politik dan bernegara harus dilandasi dengan nilai Islam.
Mengenai hal tersebut, tidak bisa
juga ditarik kesimpulan bahwa negara (Indonesia) harus di-Islamkan secara
fisik. Hal ini jelas-jelas bertentangan dengan nilai Islam itu sendiri sebagai
rahmatan lil ‘alamin yang merupakan keunggulannya. Ajaran bahwa Islam adalah
agama bagi semesta alam akan berbenturan dengan beberapa anggapan sempit
perjuangan Islam secara fisik dalam negara, dan itu jelas sangat
kontraproduktif.
Mengubah bentuk negara dalam
tingkatan fisiknya dan menggantikan Indonesia menjadi negara Islam, adalah
sebuah dekonstruksi besar-besaran dan manjadi layaknya permainan zero sum
antara segelintir muslim tertentu dengan umat selain Islam bahkan muslim yang
tidak setuju itu sendiri.
Memperjuangkan Islam secara fisik
tersebut juga malah akan menimbulkan konfrontasi antara satu dengan yang lain.
Padahal hal ini bukanlah sesuatu yang urgen. Lagipula keinginan memperjuangkan
Islam secara fisik supaya Indonesia menjadi negara Islam tak ubahnya sebagai
cerminan Arab sentris, tanpa mendiskreditkan negara Arab tentunya.
Politik identitas menjadi prioritas
di sini yang sebenarnya hanya merupakan sebuah fiksi dalam konteks Arab (dalam
hal ini maksudnya adalah Islam) dan Barat. Masing-masing sisinya diangap
homogen (sama semua) dan bertentangan satu sama lain, padahal sebenarnya tidak.
Di mana sebenarnya Indonesia sudah dapat hidup nyaman dengan keadaan seperti
ini dan umat muslim sudah dapat hidup tenang menjalankan agamanya adalah hal
utama yang harus dipertahankan, bukan malah membuat “terobosan baru” pecetusan
“negara islam” yang dapat membuat konfrontasi dan ketidaktenangan muslim itu
sendiri nantinya. Perbedaan pandangan visi Islami pada sifat negara seperti ini
bukan sesuatu yang baru. Sebuah perdebatan klasik sejak Indonesia mencapai
kemerdekaa, sejak perumusan Piagam Jakarta, yang akan menjadi Pembukaan UUD
1945, sudah terjadi perbedaan pendapat. Hal ini mengenai “tujuh patah kata” sebagai
berikut: “Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,”
yang mengikuti kalimat “Negara didasarkan pada Ketuhanan.” Hal yang sangat
sensitif itupun diputuskan untuk dihilangkan dengan pertimbangan lebih penting
urusan kerukunan bangsa dan negara daripada perdebatan permasalahan amaliyah
individu yang harus “diumumkan” lewat dasar negara.
Perdebatan mengenai agama dan negara
ini sendiri dimulai dengan perbedaan pendapat dua golongan. Yang pertama
menganggap bahwa dalam negara, Islam adalah landasan moral. Jadi jika semangat
Islam (nilai) tetap berkobar, niscaya Islam pula negara itu. Pemikiran ini
disebut dengan aliran substansialis. Namun yang kedua berpendapat bahwa negara
Islam yang harus dibentuk adalah supaya hukum Islam dapat dijalankan. Pemikiran
ini disebut juga aliran formalistik.
Dalam Pancasila pun nilai Islam
sudah jelas-jelas tercantum: ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan
keadilan. Permasalahan penerapan Islam secara fisik yang mempunyai tendensi
konfrontasi pun seakan sudah terjawab dengan pernyataan salah satu dari
sembilan wali Jawa yang paling terkenal, Sunan Kalijaga, yang mengatakan, “Saya
Islam, tapi saya orang Jawa!” Pernyataan singkat namun dalam itu juga merupakan
kritik terhadap pemikiran kaku bahwa Islam harus disebarkan dan dijalankan
dengan budaya-budaya Arab serta juga harus merubah keseluruhan sistem seperti
Islam di Arab.
Bisa dibayangkan jika Wali Songo,
penyebar Islam di Jawa, kala itu menggunakan cara Islam Arab yang akan terlihat
asing bagi penduduk Jawa. Yang jadi malah mereka menghindari Islam sebelum
mengenal. Yang dilakukan para Wali adalah melakukan “akulturasi”, yang lebih
tepat disebut adaptasi atau cara yang membumi, dengan dakwah yang menarik
minat. Para Wali mempunyai cara-cara sendiri menarik perhatian, entah dengan
permainan gamelan, wayang, lagu, dan lain-lain. Bahkan dalam hal pengucapan
bahasa Qur’an untuk lidah orang Jawa yang kala itu sulit membunyikan pengucapan
yang benar, dapat ditolerir, karena memang belajar adalah proses.
Terlepas dari permasalahan pengunaan
istilah demokrasi sebagai legitimasi atas kebebasan yang jor-joran maupun
penolakan sistem demokrasi di Indonesia, pada dasarnya demokrasi adalah sebuah
istilah yang lebih mengedepankan aspek nilai yang terkandung. Dalam suatu
negara dan sistemnya, demokrasi pun seharusnya dimaknai sebagai konsep yang
menjunjung tinggi aspek partisipasi, nasionalisme, permusyawarahan, dan
tentunya semua hal tersebut berada dalam ranah kebebasan yang terkontrol. Kita
mempunyai Pancasila sebagai dasar negara yang mempu mengakomodasi segala
perbedaan di nusantara, baik dalam hal agama, kegiatan bernegara, dan
bermasyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar