Minggu, 18 Maret 2012

NILAI DAN ETIKA DALAM PEMERINTAHAN DEMOKRASI



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dewasa ini,tidak bisa kita pungkiri dan kita hindari bahwasanya kita hidup sekarang pada lingkungan yang kritis dan demokrasi dari berbagai lapisan masyarakat yang ada. Sebelum kita membahas nilai dan etika dalam pemerintahan demokrasi,ada baiknya kita mengetahui apa yang di maksud dengan nilai, etika dan demokrasi.
Kita ketahui nilai bersifat abstrak karena tidak dapat di kenali dengan panca indra , hanya dapat ditangkap melalui benda atau tingkah laku yang mengandung nilai itu sendiri. Etika adalah aturan perilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan antara sesamanya dan menegaskan yang mana yang benar dan yang mana yang buruk.
Demokrasi berasal dari kata Demos yang berarti rakyat dan cratein yang berarti memerintah. Jadi, demokrasi berarti pemerintahan rakyat, atau kekuasaan di tangan rakyat. Abraham Lincoln, salah satu presiden Amerika Serikat , mengatakan bahwa pemerintahan demokrasi ialah pemerintahan yang di selenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Demokrasi adalah pelaksanaan kekuasaan negara ialahh wakil rakyat yang terpilih karena rakyat yakin segala kepentingannya akan terpenuhi.
Dalam pelaksanaannya demokrasi telah banyak melewati waktu, dari abad ke-4 sebelum masehi, hingga sekarang demokrasi menjadi suatu penyelenggaraan pemerintah yang populer. Dalam perkembangan zaman modern, dan makin meningkatnya jumlah rakyat suatu negara, serta bertambah luasnya wilayah negara, tidak mungkin lagi di laksanakan pemerintahan dengan sistem demokrasi langsung. Pada zaman modern ini, pada umumnya negara-negara melaksanakan pemerintahan demokrasi dengan cara tidak langsung , yaitu dengan sistem perwakilan.
Apakah pelaksanaan demokrasi sekarang telah sesuai dengan nilai dan etikanya? Dengan adanya nilai dan etika berdemokrasi , setidaknya kita mengetahui bagaimana penyelenggaraan pemerintahan demokrasi yang sesuai dengan semestinya.
1.      Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah agar pembaca dapat lebih tau tentang nilai-nilai dan etika apa saja yang terdapat dalam pemerintahan demokrasi dan juga menambah wawasan bagi pembaca maupun penulis sendiri.
BAB II
ISI


Nilai dan Etika Dalam Pemerintahan Demokrasi
1.      Demokrasi Yang Berlandaskan Nilai Ketuhanan
Demokratisasi adalah sebuah tatanan kehidupan umat yang ditandai dengan harmonisasi interaksi kepentingan umat tersebut secara adil dan merata. Kesadaran untuk mewujudkan hal tersebut seyogyanya dipikul bersama dalam sebuah visi yang terintegrasi walupun dengan pelaku dan profesi yang berbeda-beda. Sistem demokrasi meniscayakan sebuah prinsip keterwakilan, salah satu mekanisme yang banyak digunakan oleh bangsa di dunia ini, adalah penyerahan amanah dari banyak orang (seluruh rakyat suatu bangsa) kepada sebagian orang melalui metode pemilihan umum. Berbekal kepercayaan akan kemampuan masing-masing wakil rakyat tersebut, bergantung sejuta harapan, hari esok yang lebih baik bagi kehidupan berbangsa.
Namun demikian sistem demokrasi yang dijalankan ternyata memiliki kekurangan, yang mungkin banyak disebabkan oleh aktor pelakunya atau memang sistem tersebut memberi ruang perilaku menyimpang dapat bergerak secara leluasa. Goenawan Mohamad mengungkapkan bahwa dalam demokrasi, kebenaran tidak ditentukan oleh orang kuat yang serba tahu. Kebenaran justru berasal dari orang-orang ramai dengan kemampuan yang terkadang sangat biasa. Demokrasi, ibarat sebuah pasar dimana semua orang berkumpul dan bertumpuk di sana dan melakukan tawar menawar untuk mencapai kesepakatan, walaupun kadangkala kesepakatan yang diambil bukanlah yang terbaik.
Pada gilirannya demokrasi gagal menghentikan kecenderungan oligarkis untuk muncul ke permukaan, apalagi dalam sistem demokrasi prosedural dimana prinsip keterwakilan menjadi hal yang utama. Kaum elit yang memiliki intelektual dan finansial akhirnya berlomba-lomba membeli suara rakyat dengan mekanisme pasar bebas dimana modal besar yang menguasai akhirnya menciptakan kesepakatan bersama yang berpihak kepada pemilik modal.
Dinamika kehidupan berbangsa (pengelolaan negara) nampaknya selalu ditentukan oleh faktor intelektualitas, finansial, dan kepemimpinan. Dan ketiga faktor ini selalu direpresentasikan oleh elite (segelintir orang), karena pendidikan berkualitas hanya didapat oleh orang yang memiliki finansial yang banyak kemudian dengan keintelektualannya itu ia menjadi figur yang dianggap memiliki kapabilitas memimpin tanpa ada verifikasi melalui moral untuk menjadi seorang pemimpin.
Sedangkan rakyat dengan kemampuan standar yang beragam hanya terkotak-kotakan dan tidak memiliki antibody menangkal benturan akibat disparitas ilmu pengetahuan, hal ini yang menyebabkan pengelolaan negara jatuh dalam sistem oligarki. Suara rakyat posisinya menjadi abstrak, biasanya kedaulatan rakyat itu dimanipulasi oleh parpol-parpol demi kepentingan politiknya. Dukungan pemilih kerap sekedar hanya dijadikan anak-tangga politik, sebagai legitimasi politik agar parpol eksis, terutama para elitenya agar mendapat bagian dalam pemerintahan.
Berbagai manuver dilakukan untuk mempengaruhi proses demokrasi yang berpihak kepada pemilik modal, sementara rakyat biasa hanya jadi legitimasi sistem kapitalistik. Alih-alih mencapai kesejahteraan, tidak jarang justru demokrasi hanya mejadi dalih para pemegang kekuasaan (pemerintah) melanggengkan sistem yang tidak seimbang dalam pengelolaan sumber daya alam atau dengan kata lain mengeskploitasi bumi demi kekekayaan segelintir orang bukan demi kepentingan kehidupan masyarakat sekitar.
Seperti mengulang peringatan dari Pengamat politik Jeffrey A Winters paska pemilu tahun 2004, dia mengingatkan kepada kita semua bahwa kekuatan oligarki makin liar tak terkendali menyebabkan Indonesia makin eksplosif. Terjadi ketidakstabilan di hampir seluruh sektor, terutama di sektor politik, ekonomi, dan sosial, karena gesekan persaingan kepentingan antara kekuatan oligarki. Oligarki politik terjadi tatkala parpol-parpol bernegosiasi dengan capres dan cawapres dengan tawar menawar posisi kabinet pemerintahan yang akan dibentuk.
Kesan kuat yang bisa ditangkap publik, adalah kekuatan partai politik saling melakukan tawar-menawar politik, bahkan terkadang absurd alias jauh dari kehendak publik. Bagaimanapun juga demokratisasi adalah bukanlah sebuah sistem yang sempurna. Faktanya, demokrasi yang diterapkan dan diperjuangkan oleh banyak negara di dunia, nampaknya belum mampu mengangkat harkat kesejahteraan manusia seutuhnya.
Lebih ekstrim lagi, ulama Pakistan Abul A’la Al Maududy secara tegas menolak teori kedaulatan rakyat (sebagai inti dari demokrasi) karena bersifat semu, dengan alasan pertama, kedaulatan tertinggi adalah di tangan Tuhan, Tuhan sajalah yang berhak menjadi pembuat hukum. Manusia adalah mahluk yang mematuhi hukum dan tidak mempunyai otoritas untuk membuat hukum. Kedua, pada dasarnya praktik “kedaulatan rakyat” hanya menjadi omong kosong. Partisipasi politik rakyat dalam faktanya hanya di lakukan setiap empat atau lima tahun sekali saat pemilu, sedangkan kendali pemerintahan sehari-hari sesungguhnya berada di tangan segelintir penguasa yang sekalipun mengatasnamakan rakyat tetapi malah sering menindas rakyat demi kepentingan pribadi
Bukan lantas kita menyalahkan demokrasi, tetapi mari kita berkaca terhadap aktor-aktor yang menjalankan demokrasi tersebut. Seharusnya ada nilai-nilai luhur yang diagungkan serta menjadi pembatas antara benar dan salah. Agama Islam mengajarkan bahwa dengan ketauhidanlah semua harapan universal umat manusia tentang kesejahteraan bisa dimanifestasikan. Karena dengan kesadaran tauhid yang terimplementasi dalam tiap tatanan kehidupan keumatan, adalah sebuah pemerataan kesejahteraan secara menyeluruh tanpa adanya penindasan dengan prinsip pertanggungjawaban terhadap segala amanah yang diterimanya kepada Allah Sang Pencipta. Manusia diperintahkan untuk tetap menjaga nilai-nilai luhur (etika atau moral politik) yang telah digariskan oleh-Nya, proses demokratisasi haruslah berlandaskan pada nilai ketuhanan yang membebaskan penyembahan sebagian manusia kepada sebagian lainnya.
2.      Nilai dan Etika Demokrasi Indonesia
Indonesia, negara kepulauan nan subur dan elok ini rupanya telah menjadi perhatian dunia sejak lama. Dari sisi ini, terbukti, beberapa negara dari Eropa pernaha berebut untuk menginvasi dan menjajah negeri. Kekayaan alamnya menjadi aset penting yang bernilai ekonomi tinggi. Wilayah dengan banyak pulau ini pun mempunyai daya tarik tersendiri dari sisi budaya. Suku-suku yang teramat beragam disatukan dalam kesatuan bangsa dan membentuk sebuah negara bangsa.
Yang cukup menarik di sini adalah bagaimana wilayah yang terpisah laut dan mengisolasi penduduknya sehingga menimbulkan budaya-budaya tersendiri dapat menyatu baik secara administratif mapun psikologis? Hal yang amat mengagumkan mengingat hal ini berbeda sekali dengan proses terbentuknya negara lain pada umumnya.
Negara pada keadaan normal terbentuk sebab beberapa hal esensial. Yang pertama adalah kesamaan budaya. Hal ini jelas, karena tanpa adanya kesamaan budaya, suatu konsensus untuk membentuk sebuah negara akan mustahil atau paling tidak akan sangat sulit mencapainya. Yang dipengaruhi di sini mencakup beberapa aspek, seperti komunikasi antarmasyarakat atau kelompok, perbenturan adat dan ideologi, sentimen dan simpati, dan yang pada akhirnya menyentuh pada aspek kepentingan antarmasyarakat atau kelompok tersebut. Sedikit perbedaan ideologi dan bahasa saja misalnya, akan dapat dengan mudah memberikan nuansa perbedaan fundamen dalam semangat pembentukan negara baru.
Berikutnya, yang dapat mendorong terbentuknya sebuah negara adalah faktor luar seperti tekanan pihak luar atau penjajahan bangsa lain. Hal ini pada perkembangannya akan mempengaruhi kerjasama antarkelompok dan tentunya sedikit banyak akan mengikis kerasnya tembok adat dan budaya yang membatasinya. Kasus seperti inilah yang terjadi di Indonesia yang telah melewati masa-masa kolonial beratus tahun.
Penjajahan oleh bangsa lain yang menindas tersebut berimplikasi pada kesamaan pada sisi psikologi sebagai kaum terjajah. Berbagai gerakan perlawanan sporadis pun berkembang menjadi semangat untuk mengusir musuh bersama bangsa, yaitu penjajah.
Puncak perlawanan bangsa di nusantara terjadi menyusul kekalahan Jepang atas tentara sekutu dengan dijatuhkannya bom atom di dua kota negara tersebut. Kaum muda mendesak untuk disegerakannya deklarasi kemerdekaan dan pada 17 Agustus 1945, Soekarno mengumandangkan proklamasi kemerdekaan dan sekaligus menjadi dasar semangat yang satu yaitu semangat berbangsa Indonesia.
Perjalanan Sistem di Indonesia
Proklamasi kemerdekaan yang telah berkumandang tersebut seakan menjadi bahan bakar tambahan yang efektif untuk mengusir sisa-sisa penjajahan di wilayah Indonesia. Berbagai perebutan gedung dan penaklukan tentara musuh gencar dilakukan. Pada saat itu, semua orang mempunyai satu tujuan, pembentukan Indonesia sebagai negara yang benar-benar merdeka.
Setelah adanya proklamasi dan Indonesia telah berdiri menjadi satu negara merdeka, dimulailah jalannya pemerintahan. Layaknya negara berdaulat lainnya, Indonesia pun menjalankan laju pemerintahan dengan sistem dan model tertentu. Demokrasi adalah model yang cenderung digunakan di negara ini.
Namun rupanya model-model tersebut pun mengalami apa yang dinamakan perkembangan dan “aktualisasi”. Sejarah model kepemerintahan di Indonesia secara kronologis dapat dibagi dalam tiga masa yaitu masa Republik Indonesia I, II, dan III.Masa pertama disebut sebagai Demokrasi Parlementer dimana parlemen dan peran partai sangat menonjol. Perjalanan sistem Demokrasi Parlementer (1945-1959) yang menjadikan Undang-Undang Dasar (UUD) 1950 ini ternyata kurang cocok dengan keadaan dan politik di Indonesia. Partai politik yang terlalu mendominasi dalam parlemen pun membuat kinerja pemerintahan tidak berjalan dengan baik. Dalam mekanisne Pemilihan Umum (Pemilu) pun pada masa ini terjadi banyak konflik dan ketidakharmonisan antartingkatan pemerintah. Hal-hal itulah yang mendorong inisiatif Soekarno sebagai presiden untuk mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli yang mencetuskan berlakunya kembali UUD 1945 dan mengakhiri sistem parlementer.
Masa kedua adalah masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dengan Soekarno sebagai poros dalam setiap bidang. Masa kepemimpinan inilah yang disebut-sebut sebagai masa kepemimpinan yang menyimpang.
Titik puncak kekecewaan meledak pada Mei 1998 menjadi keadaan chaos yang melibatkan seluruh elemen masyarakat. Demokrasi Pancasila ala Orde Baru (Orba) itu runtuh melalui proses reformasi revolutif.Kriminalitas dan kekacauan kala itu bahkan diperkirakan mencapai trilyunan rupiah. Tujuan penggulingan kekuasaan Soeharto berbaur dengan banyaknya pemerkosaan, kekerasan, pencurian, dan tindakan anarkis. Sampai-sampai ada istilah bahwa jika saat itu satu teriakan revolusi saja dikeluarkan, maka gelombang anarki massa akan terpantik.

Gerakan reformasi Mei 1998 membuka jalan lebar untuk pengungkapan ketidakpuasan massal yang terpendam.Soeharto turun dan mulai saat itu dimulailah era baru, yang benar-benar serba baru. Segala sesuatu yang berbau Orba seakan sangat sensitif dan wajib sesegera mungkin dihilangkan. Konsep Demokrasi Pancasila sebagai sistem pemerintahan tetap dipertahankan secara istilah, namun pelaksanaannya amat berubah.
Permukaan Yang Dangkal Kebijakan reduksi tiga partai semasa Orba dihilangkan. Seakan euphoria, semua orang yang pada masanya terkungkung oleh pembatasan dalam berpolitik, setelah runtuhnya Orba kemudian membikin parpolnya masing-masing. Semua elemen masyarakat dapat berperan aktif dalam pemerintahan. Demokrasi, Memang, mau tidak mau preseden sejarah tersebut menunjukkan bahwa muncul “kesenangan” atau mungkin pada perkembangannya dapat disebut juga “kekagetan” karena diberi kebebasan luar biasa. Kondisi bebas berserikat dan mengeluarkan pendapat sontak menimbulkan banyaknya parpol yang muncul, siapapun boleh dan dengan mudah mendirikan parpol. Hal ini terjadi hingga pada Pemilu 1999 parpol yang terdaftar mencapai 48. Abdurrahman Wahid yang kala itu naik menjadi presiden mengantikan presiden “sementara”, B. J. Habiebie. Tak ubahnya badai yang tidak begitu saja reda, aura reformasi dengan nuansa chaotic-nya masih saja santer dalam pemerintahan baru ini. Kebijakan Gus Dur (sebutan Abdurrahman Wahid) yang dirasa terlalu kontroversi mengakibatkan resistensi dari lingkungan sekitar. Opini publik pun dibangun untuk menyudutkan Gus Dur. Alhasil hanya dalam kisaran belasan bulan Gus Dur turun dari kursi kepresidenan dan digantikan oleh wakilnya, Megawati.
Terdapat sebuah kotraproduksi di sini, di saat kebijakan yang reformatif dikeluarkan malah mendapat tangapan yang negatif dari sekelilingnya. Kebijakan yang benar-benar mengubah bentuk dan isi cerminan budaya Orba dalam strutur pemerintahan rupanya tidak mendapat angin segar semangat reformasi Mei 1998. Di satu sisi reformasi terus diteriakkan, namun di sisi lainnya aktualisasi reformasi, dalam bentuk kebijakan yang mengubah, seakan berat untuk dilakukan. Status quo masih menjadi sesuatu yang dipertahankan. Terlihat bahwa ternyata masyarakat dan orang-orang pemerintahan sebenarnya masih “bingung” dengan apa arti kata reformasi.
Analogi sederhana, musuh bersama sudah lenyap. Seperti pada sejarah masa lampau nusantara bahwa perbedaan wilayah dan budaya ternomorsekiankan dan semangat pengusiran penjajah dinomorsatukan, hal ini juga terjadi pra-1998. Namun pada saat tujuan telah tercapai, apa yang akan atau mau diagendakan selanjutnya? Inilah yang belum ada mengingat rupanya reformasi kala itu hanya bertujuan penggulingan kekuasaan Soeharto.
Angkatan bersenjata (kalangan militer) yang seharusnya menjadi pengawas perubahan era reformasi, bahkan mungkin harus menjadi motor, masih dapat dibilang belum menunjukkan taringnya. Padahal momen inilah yang sebenarnya menjadi sangat penting mengingat pasca gerakan reformasi 1998 adalah saat tepat bagi angkatan bersenjata memulihkan citra dan menebus dosa lamanya semasa Orba. Lagipula mengapa harus ABRI, itu dikarenakan sifatnya yang dapat bergerak cepat baik secara fisik maupun mobilisasi dan akses info.Dan sayangnya hal tersebut tidak dimaksimalkan, paling tidak sebagai upaya pemulihan nama baik pasca-Orba.
Kondisi yang masih belum stabil ini terus berlanjut. Selepas kepemimpinan Gus Dur sebagai presiden dan digantikan oleh Megawati, arus penentangan pun masih saja mengalir cukup deras. Beberapa golongan yang tidak puas mengatakan bahwa Megawati adalah sosok yang tidak kompeten menjalankan tugas berat seorang presiden. Anggapan mengenai nama besar ayahnya yang terlalu dipolitisasi didengungkan, sejalan pula dengan keadaan secara fisik bahwa Megawati adalah perempuan.
Dengan beberapa kali mengganti pembantunya dalam menjalankan tugas sebagai presiden, terlihat bahwa memang pada saat itu siapapun yang menjadi RI 1 (red. Presiden) akan berhadapan dengan percobaan penggulingan atau paling tidak untuk mempertahankan status quo di wilayahnya. Status quo yang dimaksud di sini tentunya jelas, bahwa kondisi yang serba tidak menentu memberikan celah untuk seseorang tetap duduk dalam jabatan dan kekuasaannya. Jika bukan demikian paling tidak status quo yang dimaksud adalah kondisi di mana semuanya menjad abu-abu, karena keadaan yang tidak stabil dan menentu tadi, sehingga seseorang pada jabatannya akan dengan mudah “melakukan” sesuatu.
Stagnasi dalam status quo memang manjadi tempat dan waktu yang nyaman, mengingat di sana seseorang dapat tidak kelihatan saat melakukan sesuatu yang menyimpang, dan juga garis wewenang tidak jelas. Jika kedua hal itu tidak terjadi, paling tidak status quo dapat menjadi tempat beberapa gelintir orang untuk mencari penghasilan, semisal dengan adanya struktur yang sebenarnya tidak perlu diadakan.
Seperti pada satu contoh kasus perampingan struktur lembaga negara saat masa Gus Dur. Begitu naiknya Gus Dur dalam pemerintahan, beberapa lembaga/departemen pemerintah dihapuskan. Hal ini juga menimbulkan kesan-kesan laten bahwa sebenarnya Indonesia belum lepas sepenuhnya dari gaya lama Orba dengan militer sebagai tokoh utama yang menentukan.
Dalam keadaan normal, militer hanya melaksanakan kebijakan pembangunan pertahanan negara yang digariskan oleh pemerintah, dan itupun tidak boleh lagi menentukan kebijakannya sendiri yang mengatasnamakan kepentingan negara. Dengan idealisme seperti itu, jika di bawa dalam kenyataan sekarang bagaikan pungguk merindukan bulan. Sangat jauh dari kenyataan dan sulit. Politik militer ternyata menjadi suatu oposisi pada pemerintahan sipil.
Bukan sesuatu yang tabu sebenarnya jika militer berpolitik. Namun yang menjadi masalah adalah pada saat sipil dan militer dihadapkan, maka keduanya seakan saling menegasikan antara satu dengan yang lain. Naiknya SBY dalam puncak arena politik 2004 pun dipandang sebagai kemenangan militer sebagai nomor satu, dan sipil sebagai nomor duanya. Hal ini juga menunjukkan bahwa sebenarnya dalam perpolitikan dalam negeri yang terjadi hanyalah sebatas politik perebutan kekuasaan, antara kekuatan satu dengan yang lain. Dukungan militer pun, yang seharusnya menjadi sebuah keharusan mutlak dalam menjalankan pemerintahan stabil, bagai negosiasi politik antara aktor satu dengan kekuatannya dan militer dengan kekuatannya sendiri.
Melihat hal tersebut, dapat dikatakan esensi dari reformasi itu sendiri sudah hilang beberapa tahun lalu, tepatnya pasca-Mei 1998. Yang terjadi setelah itu adalah tak ubahnya perebutan kekuasaan yang tidak begitu berbeda dengan masa Orba. Perbedaan kecil mungkin pada aktor yang bermain di sana: pada masa Orba militer adalah satu-satunya tokoh, sedangkan pasca-Mei 1998 muncul beberapa tokoh lain yang ikut permainan politik negeri yang itupun hanya menjadi buih ditengah kuatnya ombak kekuatan militer.
Reformasi sendiri adalah suatu perubahan untuk memperbaiiki masalah sosial , politik, dan agama dalam suatu masyarakat atau negara. Reformasi yang seharusnya menjadi masa perubahan sistem itu hanya dipahami sebagai usaha penggulingan kekuasaan Soeharto, tidak lebih. Padahal seharusnya dengan adanya masa-masa pembukaan katup perubahan seperti ini, reformasi yang dilakukan tidak hanya sebatas masalah perubahan siapa tokoh yang menjadi presiden.
Hal-hal seperti ini menjadikan keraguan tersendiri mengenai bagaimana pemahaman masyarakat dan elit mengenai makna reformasi, terlebih untuk mencapai budaya demokratis yang menjadi impian Gerakan Reformasi itu sendiri. Satu-satunya perubahan yang dinilai sedikit mampu menyentuh ujung nilai demokrasi pasca-Mei 1998 “hanyalah” pengakuan Kaum Tionghoa, yang pada masa Soeharto menjadi warga nomor dua, bahkan sampai pada tidak diakuinya agama Konghucu, yang kesemua itu berimplikasi pada tindak-tindak pelanggaran HAM.
Kontraproduksi Jika Hanya Bicara Istilah Kebebasan Setelah itu, kita pun bingung apa yang bisa dikatakan reformasi lagi. Perubahan-perubahan yang terjadi penggulingan Soeharto pun belum ada yang esensial. Bagian mananya yang dapat dikatakan reformasi kembali menuju pada demokrasi? Reformasi dan demokrasi yang dipahami sebagai perubahan dan kebebasan itu pun dijadikan rujukan legitimasi dalam melakukan “perubahan” dan “kebebasan”.
Tersebutlah demokrasi, sebuah sistem politik dan pemerintahan yang muncul sebagai respons atas semangat kesederajatan dan kebebasan. “Government of people, by the people, for the people” yang menjadi acuan norma kehidupan bernegara tersebut seakan telah menjadi titik “konsensus” internasional. Terlepas dari beberapa perdebatan mengenai kecocokan ideologinya, mayoritas negara di dunia sepakat bahwa nilai dalam sistem demokrasi adalah yang relevan dengan perkembangan saat ini.
Tumbangnya pemerintahan Orba, kondisi bebas berpolitik dan berserikat sontak menimbulkan munculnya banyak parpol dengan jumlah mencapai 48 partai pada Pemilihan Umum (Pemilu) 1999. Hal ini memperlihatkan bagaimana telah memuncaknya hasrat politik masyarakat yang terpendam semasa Orba. Seakan eforia, siapapun bisa membentuk sebuah partai sejak saat itu.
Akan tetapi yang menjadi pertanyaan adalah, apakah pada Pemilu 2004 dengan 24 partai dan Pemilu 2009 ini dengan 38 partai dan 6 partai lokalnya itu masih akan dimaklumi sebagai sebuah eforia? Atau keadaan seperti inilah yang menunjukkan keberhasilan demokrasi pada suatu negara?
Konsep demokrasi sendiri sebenarnya telah berkembang dalam tataran nilai, bukan hanya sebatas bentuk fisik dari sebuah sistem politik dan pemerintahan. Secara fisik (konstitusional), demokrasi adalah suatu ide mengenai bentuk pemerintahan di mana tidak ada kesewenang-wenangan, kebebasan diakui, penjaminan hak masyarakat termasuk dalam berserikat dan lain-lain, serta hukum netral yang berlaku.
Untuk perwujudannya, konsep seperti itu akan dengan sangat mudah diterapkan di manapun. Namun demokrasi mempunyai makna yang lebih substansial yaitu dalam kandungan nilai demokrasi itu sendiri.
Banyaknya jumlah parpol di Indonesia pada beberapa periode ini sebenarnya sudah merupakan keberhasilan tersendiri bagi perwujudan konsep demokrasi dalam sistem pemerintahan. Jumlah partai pun dapat dipahami sebagai diakuinya hak politik dan berserikat bagi masyarakatnya.
Namun sejumlah partai tersebut pada perkembangannya telah gagal menjalankan fungsi aspiratifnya yang merupakan tugas utama sebuah partai. Partai hanya menjadi sarana mobilisasi suara dalam Pemilu. Bahkan tidak terhitung pula kasus politik uang dan penyimpangan lain dalam pesta demokrasi tersebut yang telah terjadi.
Komunikasi yang dilakukan partai politik pun hanya sebatas komunikasi politik limatahunan menjelang Pemilu tanpa diimbangi dengan penjaminan kepentingan masyarakat. Dan kemudian pada akhirnya berujung pada koalisi partai pragmatis demi pencapaian dan pembagian kekuasaan dalam pemerintahan.
Suatu hal yang memalukan jika kita menganggap perkembangan budaya politik yang seperti ini sebagai cerminan dan keberhasilan demokrasi. Memang sebagian konsep demokrasi, yaitu kebebasan, dapat terwujud di sini. Tetapi di sisi lain nilai demokrasi yang lebih penting telah terlewatkan, terlebih pada demokrasi Pancasila-nya: kebebasan yang tidak melupakan sisi kemanusiaan, persatuan, dan keadilannya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Kedewasaan budaya politik para elit masih amat minim dan masyarakat hanya dihadapkan dengan ilusi demokrasi, bukan nilai demokrasi yang sesungguhnya.
Ada lagi kasus lain yang mengenaskan. Tanggal 3 Februari 2009 lalu adalah hari yang telah menambah noda hitam dalam sejarah demokrasi di Indonesia. Anarkisme massa berbuah hilangnya nyawa ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Utara Abdul Aziz Angkat ini adalah pelecehan pada budaya demorasi yang sesungguhnya. Rakyat Sumatera Utara kala itu menuntut pemekaran daerah Tapanuli menjadi Propinsi Tapanuli (Protap). Kearifan bangsa, yang dielukan sebagai hal paling dijunjung tinggi pun seakan runtuh bersamaan dengan jebolnya pintu masuk Gedung DPRD Sumut oleh amuk massa. Legitimasi aksi massa dengan dalih penuntutan kebebasan “berkeinginan” yang demokratis menimbulkan biaya yang teramat tinggi.
Banyaknya jumlah parpol, aspirasi otonomi daerah, dan banyak lagi yang lain memang adalah hal yang harus dihargai dalam konteks kebebasan berpendapat. Namun perlu diingat, jika legitimasi kebebasan yang dimaksud hanyalah suatu upaya memperjuangkan kepentingan segelintir golongan, itu akan menyebabkan distorsi makna dari demokrasi itu sendiri. Demokrasi yang pada intinya adalah pemerintahan dengan trias politica-nya tersebut perlu dipahami secara epistemologi, bukan hanya etimologi.
Trias Politica dengan pemisahan kekuatan dalam pemerintahan pun harus dipahami sebagai usaha yang, kala itu, sangat efektif untuk mencegah kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan. Seperti pada ungkapan Lord Acton, “power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”, yang dapat diartikan bahwa kekuatan apapun mempunyai kecenderungan untuk salah, terlebih jika kekuatan tersebut absolut dan tidak ada yang bisa mengontrol. Itulah sebenarnya yang diperjuangkan dalam demokrasi dan sistemnya.
Sangat kontraproduktif saat sebuah kebebasan malah menjadikan semuanya kacau dan jor-joran (asal dan tidak terkontrol). Seperti pada kasus tuntutan (sebagian oknum) rakyat Sumatera Utara yang melakukan aksi anarki karena ketidakpuasan dengan keputusan Abdul Aziz Angkat yang menolak pemekaran. Atau di saat Kalla, yang sedang menjabat sebagai wakil presiden, mengatakan bahwa demokrasi adalah persoalan persaingan dan perbedaan, jika tidak berbeda dan bersaing maka bukan demokrasi.
Demokrasi macam apa jika yang terjadi hanyalah kasus-kasus seperti itu? Namun, apakah dengan seperti itu berarti demokrasi tidak pas jika diterapkan di Indonesia? Hal inilah yang oleh beberapa gelintir golongan menjadi sebagian argumen mengenai penolakannya terhadap demokrasi. Dengan pendapat lain juga bahwa demokrasi tidak sejalan dengan Islam karena meletakkan kedaulatan di tangan rakyat, bukan Tuhan, maka demokrasi disimpulkan adalah sistem yang tidak cocok untuk Indonesia.
Kontraproduksi Jika Hanya Bicara Istilah Secara Fisik: Agama dan Negara
Budaya dan cara Barat pun dijadikan argumen utama mengenai ketidakcocokan demokrasi untuk Indonesia. Sebenarnya dasar seperti itulah yang kurang substansial dan kurang dapat memaknai konsep demokrasi sebagai konsep universal secara istilah maupun nilai yang terkandung di dalamnya. Kurang tepat juga sebenarnya pada saat menolak sebuah metode/konsep (demokrasi) hanya semata-mata secara istilah maupun karena siapa yang mengeluarkan idenya itu.
Ungkapan seorang ilmuwan, Giovanni Sartori, “Jika kita berbicara tentang pengalaman Barat, apakah kata kuncinya itu ‘Barat’ atau ‘pengalaman’?”Hal yang diungkapkan ilmuwan yang mempunyai nama bernuansa Barat ini juga tidak bisa selayaknya serta-merta langsung ditentang karena namanya itu.
Dalam revolusi Iran yang diprakarsai Ayatullah Khomeini dan beberapa ulama serta intelektual Iran, pada dasarnya adalah pengubahan sistem negara yang terlalu otoriter dengan sistem lamanya. Dinasti Pahlevi dengan tradisi kerajaannya selama 2500 tahun itu pun berhasil diubah menjadi sistem republik, Republik Islam Iran.Perubahan drastis yang terjadi, pengekangan hak oleh rezim sebelumya telah runtuh dan tergantikan dengan masa partisipasi masyarakat.
Dalam ajaran Islam sendiri, juga semua agama tentunya, akan mendukung segala hal yang berhubungan dengan kesejahteraan rakyatnya walaupun dengan catatan tidak melangar norma agamanya masing-masing. Dan jika berbicara pada tingkatan nilai –saya tegaskan lagi, nilai-, semua konsep dalam demokrasi tidak ada yang bertentangan dengan ajaran Islam. Pada istilah “Government of people, by the people, for the people”, yang mempunyai kesimpulan bahwa kedaulatan di tangan rakyat, juga bukan serta-merta mendiskreditkan kedaulatan Tuhan (Allah), yang dalam ajarannya adalah sebagai pusat semesta alam.
Peristilahan kedaulatan di tangan rakyat itu jelas berbeda konteks dengan konsep Tuhan sebagai pusat semesta alam yang hanya dengan ketentuannyalah kita menjalankan segala kegiatan duniawi sebagai bekal ukhrawi (akhirat). Walaupun terpantiknya revolusi Iran tidak secara gamblang disebutkan sebagai gerakan tuntutan sistem demokrasi menggantikan monarki otoriter, namun jelas yang diinginkan rakyat kala itu adalah palaksanaan nilai-nilai demokrasi.
Argumen bahwa agama harus dipisahkan dengan perpolitikan maupun kegiatan bernegara juga sebenarnya merupakan bumerang bagi argumen itu sendiri. Walaupun dimaksudkan supaya agama tidak “tercemar” urusan politik, namun itu menjadi sebuah kedangkalan pemahaman. Agama dan politik/negara seharusnya malah tidak boleh dipisahkan. Hal ini karena kegiatan politik dan bernegara harus dilandasi dengan nilai Islam.
Mengenai hal tersebut, tidak bisa juga ditarik kesimpulan bahwa negara (Indonesia) harus di-Islamkan secara fisik. Hal ini jelas-jelas bertentangan dengan nilai Islam itu sendiri sebagai rahmatan lil ‘alamin yang merupakan keunggulannya. Ajaran bahwa Islam adalah agama bagi semesta alam akan berbenturan dengan beberapa anggapan sempit perjuangan Islam secara fisik dalam negara, dan itu jelas sangat kontraproduktif.
Mengubah bentuk negara dalam tingkatan fisiknya dan menggantikan Indonesia menjadi negara Islam, adalah sebuah dekonstruksi besar-besaran dan manjadi layaknya permainan zero sum antara segelintir muslim tertentu dengan umat selain Islam bahkan muslim yang tidak setuju itu sendiri.
Memperjuangkan Islam secara fisik tersebut juga malah akan menimbulkan konfrontasi antara satu dengan yang lain. Padahal hal ini bukanlah sesuatu yang urgen. Lagipula keinginan memperjuangkan Islam secara fisik supaya Indonesia menjadi negara Islam tak ubahnya sebagai cerminan Arab sentris, tanpa mendiskreditkan negara Arab tentunya.
Politik identitas menjadi prioritas di sini yang sebenarnya hanya merupakan sebuah fiksi dalam konteks Arab (dalam hal ini maksudnya adalah Islam) dan Barat. Masing-masing sisinya diangap homogen (sama semua) dan bertentangan satu sama lain, padahal sebenarnya tidak. Di mana sebenarnya Indonesia sudah dapat hidup nyaman dengan keadaan seperti ini dan umat muslim sudah dapat hidup tenang menjalankan agamanya adalah hal utama yang harus dipertahankan, bukan malah membuat “terobosan baru” pecetusan “negara islam” yang dapat membuat konfrontasi dan ketidaktenangan muslim itu sendiri nantinya. Perbedaan pandangan visi Islami pada sifat negara seperti ini bukan sesuatu yang baru. Sebuah perdebatan klasik sejak Indonesia mencapai kemerdekaa, sejak perumusan Piagam Jakarta, yang akan menjadi Pembukaan UUD 1945, sudah terjadi perbedaan pendapat. Hal ini mengenai “tujuh patah kata” sebagai berikut: “Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,” yang mengikuti kalimat “Negara didasarkan pada Ketuhanan.” Hal yang sangat sensitif itupun diputuskan untuk dihilangkan dengan pertimbangan lebih penting urusan kerukunan bangsa dan negara daripada perdebatan permasalahan amaliyah individu yang harus “diumumkan” lewat dasar negara.
Perdebatan mengenai agama dan negara ini sendiri dimulai dengan perbedaan pendapat dua golongan. Yang pertama menganggap bahwa dalam negara, Islam adalah landasan moral. Jadi jika semangat Islam (nilai) tetap berkobar, niscaya Islam pula negara itu. Pemikiran ini disebut dengan aliran substansialis. Namun yang kedua berpendapat bahwa negara Islam yang harus dibentuk adalah supaya hukum Islam dapat dijalankan. Pemikiran ini disebut juga aliran formalistik.
Dalam Pancasila pun nilai Islam sudah jelas-jelas tercantum: ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan. Permasalahan penerapan Islam secara fisik yang mempunyai tendensi konfrontasi pun seakan sudah terjawab dengan pernyataan salah satu dari sembilan wali Jawa yang paling terkenal, Sunan Kalijaga, yang mengatakan, “Saya Islam, tapi saya orang Jawa!” Pernyataan singkat namun dalam itu juga merupakan kritik terhadap pemikiran kaku bahwa Islam harus disebarkan dan dijalankan dengan budaya-budaya Arab serta juga harus merubah keseluruhan sistem seperti Islam di Arab.
Bisa dibayangkan jika Wali Songo, penyebar Islam di Jawa, kala itu menggunakan cara Islam Arab yang akan terlihat asing bagi penduduk Jawa. Yang jadi malah mereka menghindari Islam sebelum mengenal. Yang dilakukan para Wali adalah melakukan “akulturasi”, yang lebih tepat disebut adaptasi atau cara yang membumi, dengan dakwah yang menarik minat. Para Wali mempunyai cara-cara sendiri menarik perhatian, entah dengan permainan gamelan, wayang, lagu, dan lain-lain. Bahkan dalam hal pengucapan bahasa Qur’an untuk lidah orang Jawa yang kala itu sulit membunyikan pengucapan yang benar, dapat ditolerir, karena memang belajar adalah proses.
Terlepas dari permasalahan pengunaan istilah demokrasi sebagai legitimasi atas kebebasan yang jor-joran maupun penolakan sistem demokrasi di Indonesia, pada dasarnya demokrasi adalah sebuah istilah yang lebih mengedepankan aspek nilai yang terkandung. Dalam suatu negara dan sistemnya, demokrasi pun seharusnya dimaknai sebagai konsep yang menjunjung tinggi aspek partisipasi, nasionalisme, permusyawarahan, dan tentunya semua hal tersebut berada dalam ranah kebebasan yang terkontrol. Kita mempunyai Pancasila sebagai dasar negara yang mempu mengakomodasi segala perbedaan di nusantara, baik dalam hal agama, kegiatan bernegara, dan bermasyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar