Selasa, 10 April 2012

Opini Bahasa Indonesia



            Saya merasa prihatin dengan kondisi kemampuan berbahasa kaum remaja kebanyakan. Gaya berbahasa berkaitan erat dengan bahan bacaannya.  Kalau yang dibaca remaja selalu masalah-masalah percintaan yang beraliran gombalisme, maka tidak heran jika pikiran mereka pun tidak terbiasa dengan hal-hal lain yang sebenarnya sangat penting.  Jika pikirannya hanya disibukkan oleh hal-hal semacam itu, maka jangan heran jika mereka cenderung menghindar dari pembicaraan-pembicaraan serius (dan tentu juga tulisan-tulisan yang serius).
            Menurut saya, di sekolah-sekolah, di milis-milis, atau di perkumpulan-perkumpulan pengamat bahasa dan sastra semacam FLP, misalnya, perlu digalakkan kebiasaan menyatakan pendapat.  Apa pun pendapatnya, setiap orang harus bisa menyampaikannya dengan baik.  Apa pun fenomena yang diamati, pasti benak setiap orang memiliki pendapat masing-masing.  Mustahil ada manusia yang tidak memiliki pendapat.  Yang ada hanyalah manusia yang tidak mampu atau tidak berani menyatakan pendapatnya itu.
            Bahasa dan bangsa adalah dua hal yang tak terpisahkan. Bagi sebuah bangsa, bahasa adalah wujud identitas yang menunjukkan jati dirinya. Dalam tataran kebangsaan, sebuah bahasa memiliki makna sebagai simbol nasionalisme yang memiliki fungsi dan kedudukan yang sangat penting secara politis. Ketika kebangkitan nasionalisme menggejala di berbagai negara di dunia pada abad kesembilan belas, bahasa menjadi instrumen penting yang tak terpisahkan dalam geliat melawan kolonialisme itu.
            Bahasa sebagai simbol dan sarana utama dalam berkomunikasi antarmanusia, menjadikannya sebagai pilar yang menyangga hubungan antarsesama. Oleh karena itu, dinamika perkembangan bahasa akan sangat dipengaruhi dinamika kebudayaan sebuah masyarakat. Dalam tataran berbahasa, masyarakat Indonesia menunjukkan adanya sebuah gejala unik.
            Pluralitas masyarakat Indonesia dengan suku dan bahasa yang beragam, menyebabkan bahasa Indonesia menerima begitu banyak pengaruh. Bila dirujuk secara historis, bahasa Indonesia merupakan bahasa yang dirujuk dari bahasa Melayu Riau. Pada perkembangannya, ada begitu banyak bahasa daerah maupun asing yang turut mewarnai perkembangan bahasa nasional kita.
            Dalam fungsinya yang sangat krusial sebagai sarana komunikasi, bahasa memasuki semua dimensi kehidupan manusia: sosial, ekonomi, politik, kebudayaan, agama, ilmu pengetahuan, dan teknologi.
            Sejarah mencatat bagaimana perkembangan bahasa itu dalam proses pembentukannya mengalami periode panjang yang tak lepas dari kontrol kekuasaan yang sekaligus menjadi instrumen yang sangat kuat dalam mengontrol kebudayaan.
            Penyeragaman bahasa yang dilakukan tidak sekadar dilihat sebagai urusan "pemakaian bahasa yang baik dan benar", tetapi juga memiliki dimensi ideologi dan politik tertentu. Dalam konteks poskolonial, itu merupakan upaya kontrol yang dilakukan pemerintah Kolonial terhadap wacana yang dikonsumsi pribumi.
            Dari standardisasi bahasa, dihasilkan karya-karya atau jenis sastra tertentu yang mendominasi jenis sastra lain dan menjadi standar bagi karya yang baik dan layak dikonsumsi oleh masyarakat. Dalam bahasa daerah, seperti bahasa Sunda, dapat ditemukan gejala yang hampir sama .
            Upaya-upaya penyempurnaan, pembakuan, dan standardisasi bahasa Indonesia tersebut, tentunya sangat penting meski berdampak pada semakin terpinggirkannya bahasa daerah.
            Seringkali rasa nasionalisme itu baru terusik bila kita dihadapkan pada gangguan atau ancaman dari luar. Kita marah dan terusik ketika berbagai peristiwa belakangan ini yang menyangkut identitas bangsa kita diakui sebagai identitas bangsa lain tanpa ada tindak nyata yang berarti, selain perdebatan di berbagai media.
            Kita hanya bisa marah dan terusik ketika dua pulau kita lepas dari pangkuan bumi pertiwi. Peristiwa-peristiwa yang melibatkan negara dengan akar bahasa dan budaya yang sama, yakni rumpun Melayu. Ke mana rasa nasionalisme kita ketika peristiwa-peristiwa itu belum muncul ke permukaan? Kita justru sibuk bertikai antarsesama. Konflik etnis terus saja mengintai kekokohan nasionalisme itu. Para politisi terus sibuk dengan bagi-bagi kekuasaannya. Ke mana rasa nasionalisme kita ketika kita tidak berdaya dihadapkan pada berbagai penderitaan sesama warga bangsa
            Kini selayaknya menjadi saat yang tepat bagi kita untuk merenungkan kembali: apa yang salah dengan bahasa dan nasionalisme kita
            Ketika zaman berubah begitu cepat, barangkali kita pun harus memaknai nasionalisme itu secara aktual dan kontekstual. Dalam tataran negara, selain mempertahankan keutuhan wilayah negara, wujud nasionalisme itu perlu diimplementasikan melalui kebijakan-kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil serta seperangkat aturan yang mampu melindungi warga bangsanya, di dalam maupun di luar negara Indonesia.
            Pada tataran masyarakat, sebagai warga bangsa kita harus terus bahu-membahu bekerja sama membangun bangsa yang kita cintai ini. Kemauan kita untuk terus belajar tak kenal lelah, mengakui kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan serta memperbaikinya, tidak melulu saling menyalahkan, menghentikan segala jenis pertikaian yang merugikan, meningkatkan kepedulian, dan rasa solidaritas kepada sesama adalah sebagian bentuk dari ekspresi nasionalisme kita cinta tanah air dan bangsa Indonesia.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar