Saya
merasa prihatin dengan kondisi kemampuan berbahasa kaum remaja
kebanyakan. Gaya berbahasa berkaitan erat dengan bahan bacaannya.
Kalau yang dibaca remaja selalu masalah-masalah percintaan yang beraliran
gombalisme, maka tidak heran jika pikiran mereka pun tidak terbiasa dengan
hal-hal lain yang sebenarnya sangat penting. Jika pikirannya hanya
disibukkan oleh hal-hal semacam itu, maka jangan heran jika mereka cenderung
menghindar dari pembicaraan-pembicaraan serius (dan tentu juga tulisan-tulisan
yang serius).
Menurut
saya, di sekolah-sekolah, di milis-milis, atau di perkumpulan-perkumpulan pengamat
bahasa dan sastra semacam FLP, misalnya, perlu digalakkan kebiasaan menyatakan
pendapat. Apa pun pendapatnya, setiap orang harus bisa menyampaikannya
dengan baik. Apa pun fenomena yang diamati, pasti benak setiap orang
memiliki pendapat masing-masing. Mustahil ada manusia yang tidak memiliki
pendapat. Yang ada hanyalah manusia yang tidak mampu atau tidak berani
menyatakan pendapatnya itu.
Bahasa
dan bangsa adalah dua hal yang tak terpisahkan. Bagi sebuah bangsa, bahasa
adalah wujud identitas yang menunjukkan jati dirinya. Dalam tataran kebangsaan,
sebuah bahasa memiliki makna sebagai simbol nasionalisme yang memiliki fungsi
dan kedudukan yang sangat penting secara politis. Ketika kebangkitan
nasionalisme menggejala di berbagai negara di dunia pada abad kesembilan belas,
bahasa menjadi instrumen penting yang tak terpisahkan dalam geliat melawan
kolonialisme itu.
Bahasa
sebagai simbol dan sarana utama dalam berkomunikasi antarmanusia, menjadikannya
sebagai pilar yang menyangga hubungan antarsesama. Oleh karena itu, dinamika
perkembangan bahasa akan sangat dipengaruhi dinamika kebudayaan sebuah
masyarakat. Dalam tataran berbahasa, masyarakat Indonesia menunjukkan adanya
sebuah gejala unik.
Pluralitas
masyarakat Indonesia dengan suku dan bahasa yang beragam, menyebabkan bahasa
Indonesia menerima begitu banyak pengaruh. Bila dirujuk secara historis, bahasa
Indonesia merupakan bahasa yang dirujuk dari bahasa Melayu Riau. Pada
perkembangannya, ada begitu banyak bahasa daerah maupun asing yang turut mewarnai
perkembangan bahasa nasional kita.
Dalam
fungsinya yang sangat krusial sebagai sarana komunikasi, bahasa memasuki semua
dimensi kehidupan manusia: sosial, ekonomi, politik, kebudayaan, agama, ilmu
pengetahuan, dan teknologi.
Sejarah
mencatat bagaimana perkembangan bahasa itu dalam proses pembentukannya
mengalami periode panjang yang tak lepas dari kontrol kekuasaan yang sekaligus
menjadi instrumen yang sangat kuat dalam mengontrol kebudayaan.
Penyeragaman
bahasa yang dilakukan tidak sekadar dilihat sebagai urusan "pemakaian
bahasa yang baik dan benar", tetapi juga memiliki dimensi ideologi dan
politik tertentu. Dalam konteks poskolonial, itu merupakan upaya kontrol yang
dilakukan pemerintah Kolonial terhadap wacana yang dikonsumsi pribumi.
Dari
standardisasi bahasa, dihasilkan karya-karya atau jenis sastra tertentu yang
mendominasi jenis sastra lain dan menjadi standar bagi karya yang baik dan
layak dikonsumsi oleh masyarakat. Dalam bahasa daerah, seperti bahasa Sunda,
dapat ditemukan gejala yang hampir sama .
Upaya-upaya
penyempurnaan, pembakuan, dan standardisasi bahasa Indonesia tersebut, tentunya
sangat penting meski berdampak pada semakin terpinggirkannya bahasa daerah.
Seringkali
rasa nasionalisme itu baru terusik bila kita dihadapkan pada gangguan atau
ancaman dari luar. Kita marah dan terusik ketika berbagai peristiwa belakangan
ini yang menyangkut identitas bangsa kita diakui sebagai identitas bangsa lain
tanpa ada tindak nyata yang berarti, selain perdebatan di berbagai media.
Kita
hanya bisa marah dan terusik ketika dua pulau kita lepas dari pangkuan bumi
pertiwi. Peristiwa-peristiwa yang melibatkan negara dengan akar bahasa dan
budaya yang sama, yakni rumpun Melayu. Ke mana rasa nasionalisme kita ketika
peristiwa-peristiwa itu belum muncul ke permukaan? Kita justru sibuk bertikai
antarsesama. Konflik etnis terus saja mengintai kekokohan nasionalisme itu.
Para politisi terus sibuk dengan bagi-bagi kekuasaannya. Ke mana rasa
nasionalisme kita ketika kita tidak berdaya dihadapkan pada berbagai
penderitaan sesama warga bangsa
Kini
selayaknya menjadi saat yang tepat bagi kita untuk merenungkan kembali: apa
yang salah dengan bahasa dan nasionalisme kita
Ketika
zaman berubah begitu cepat, barangkali kita pun harus memaknai nasionalisme itu
secara aktual dan kontekstual. Dalam tataran negara, selain mempertahankan
keutuhan wilayah negara, wujud nasionalisme itu perlu diimplementasikan melalui
kebijakan-kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil serta seperangkat aturan
yang mampu melindungi warga bangsanya, di dalam maupun di luar negara
Indonesia.
Pada
tataran masyarakat, sebagai warga bangsa kita harus terus bahu-membahu bekerja
sama membangun bangsa yang kita cintai ini. Kemauan kita untuk terus belajar
tak kenal lelah, mengakui kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan serta
memperbaikinya, tidak melulu saling menyalahkan, menghentikan segala jenis
pertikaian yang merugikan, meningkatkan kepedulian, dan rasa solidaritas kepada
sesama adalah sebagian bentuk dari ekspresi nasionalisme kita cinta tanah air
dan bangsa Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar