Jumat, 10 Juni 2011

ETIKA PELAYANAN PUBLIK



Etika Pelayanan Publik di Indonesia

Menurut Rajiv Prabakhar (2006), saat ini pelayanan publik mendapat tantangan yang sangat berarti, terutama akibat dari globalisasi. Debat yang muncul dalam perdebatan itu melingkupi relasi negara dengan pasar, negara dengan warga, dan warga dengan pasar. Kalau pada masa sebelumnya, negara begitu dominan sebagai pihak yan berwenang untuk memberikan pelayanan publik maka saat ini para penentangnya menganggap peran negara sudah tidak sesuai dengan logika dan nilai dari globalisasi.
Adapun tantangan pelayanan publik meliputi 4 isu penting, yaitu :
- Negara atau Pasar ?
Debat tentang siapa yang harus lebih berperan dalam menyelenggarakan pelayanan publik terjadi antara pendekatan yang berpusat pada negara (state-centred approach), dengan pendekatan yang berpusat pada pasar (market-centred approach). Kaum kanan baru (the New Right) menyatakan bahwa negara tak akan mampu melakukan pelayanan publik yang optimal di era globalisasi. Hanya kompetisi di dalam pasar yang akan menentukan pelaksanaan pelayanan publik (Rajiv Prabhakar, 2006). Sebaliknya, kelompok yang berpihak pada negara menganggap mekanisme pasar gagal untuk memberikan pelayanan yang optimal kepada seluruh masyarakat karena logikanya hanya menguntungkan pemenang dari kompetisi di dalam pasar, sedangkan pihak yang kalah atau lebih lemah bukanlah persoalan bagi kaum pro-pasar.
- Keutamaan (virtue) atau Kontrak ?
Dalam tradisi masyarakat liberal, pelayanan publik terikat oleh kontrak antara pihak penyedia (providers) dengan pengguna (users). Adanya banyak penyedia memungkinkan mereka harus memberikan yang terbaik, dan kontrak adalah jaminan buat mengikat para pengguna.
Ada hal yang positif dari kontrak antara penyedia dan pengguna, tetapi menurut Andrew Dobson, kontrak juga mengandung unsur ancaman dan hukuman apabila persetujuan itu dilanggar (Rajiv Prabhakar, 2006 :33). Dalam hal ini, pengguna biasanya dalam posisi yang lebih lemah. Bagi Dobson, kontrak lebih cocok di bidang bisnis dan tidak sesuai dengan konsep kewargaan (citizenship). Bagi Dobson, pelayanan publik harus berdasar pada unsur keutamaan (virtue). Dalam virtue, unsur kepedulian (care) dan belas kasih (compassion) akan menjamin kualitas dari pelayanan publik dari pada ancaman atau hukuman.
- Warga atau Konsumen ?
Bagi kaum pro-pasar dan pro-kontrak, pengguna pelayanan publik harus diperlakukan sebagai konsumen. Konsumen ini punya hak yang telah diatur dalam sebuah kontrak dengan pihak produsen. Konsumen juga harus menanggung konsekuensi apabila tidak mematuhi kontrak yang sudah disepakati. Unsur transaksi sangat kental dalam pandangan ini. Tingkat kepuasaan, untung-rugi, hukuman-hadiah adalah nilai-nilai yang mendasari pandangan ini.
Sebaliknya pihak yang pro-negara dan pro-keutamaan melihat pengguna sebagai warga yang punya hak mendapat pelayanan publik yang terbaik dari penyedia. Sebagai warga, pelayanan mereka tidak boleh dikurangi atau dihilangkan haknya karena tidak menguntungkan secara ekonomis.
- Publik good atau Private good
Menurut David A. MacDonald dan Greg Ruiters (Daniel Chaves (ed), 2006), dalam logika pasar, segala sesuatu dapat dibeli dan dijual di pasar, termasuk kebutuhan masyarakat. Setiap barang adalah “private good” yang bercirikan rivalry (setiap barang diperebutkan oleh banyak orang sehingga setiap orang adalah rival bagi lainnya) dan excludable (akses seseorang bisa ditolak apabila mereka tidak memenuhi kontrak).
Logika pasar yang menempatkan semua barang sebagai private good ditolak oleh oleh MacDonald dan Ruiters. Bagi mereka, setiap barang harus tetap dianggap sebagai public good, karena berkaitan dengan kepentingan banyak orang. Berbeda dengan private good, public good bercirikan non-rivalry dan non-excludable.
Perdebatan di atas bisa kita gunakan untuk menganalisa pelayanan publik di Indonesia. Penulis mengambil dua contoh untuk menggambarkan dinamika pelayananan publik di Indonesia. Contoh pertama adalah pelayanan air minum buat warga. Pasal 33 UUD 1945 menganggap air adalah hajat hidup orang banyak, sehingga negara yang punya wewenang dan tanggung jawab dalam menyelenggarakan pelayanan air minum kepada semua warga. Pasal ini mencerminkan keberpihakan pada peran negara, warga, keutamaan dan public good. Ironisnya, UU No. 7 tahun 2004 memandang air sebagai private good (Syamsul Hadi, dkk, 2007:130).
Contoh kedua adalah pelayanan publik oleh PT Pelni. Secara operasional, PT Pelni selalu merugi dalam melayani pelayaran di seluruh kawasan Indonesia. Menurut kaum yang pro-pasar, pelayanan semacam ini harus segera dihilangkan karena tidak ekonomis. Kenyataannya, PT Pelni sampai sekarang masih tetap melayani pelayaran, dan negara tidak melakukan privatisasi atas PT Pelni. Kebijakan ini berpihak pada peran negara, warga, keutamaan, berpihak pada warga dan pelayaran dianggap sebagai public good.
Tetapi kalau kita lihat dalam operasionalnya, sejumlah hak yang harusnya dimiliki oleh setiap penumpang misalnya soal kasur mulai dihilangkan. Beberapa tahun lalu, kasur adalah hak setiap penumpang. Tetapi dalam beberapa waktu terakhir ini, setiap penumpang tidak mendapat kasur lagi. Kalau ingin mendapatkannya, penumpang harus membayar sejumlah uang. Penjualan kasur ini menunjukkan adanya pergeseran dari public good menjadi private good.
Menuju Etika Pelayanan publik yang pro-warga
Globalisasi tidak bisa ditolak begitu saja pada saat sekarang. Menutup pintu terhadap globalisasi juga bukan pilihan. Globalisasi memungkinkan pihak lain yang berada di luar negara juga bisa memberikan pelayanan publik. Kenyataan ini tidak serta merta membuat kita menyerahkan begitu saja pelayanan publik kepada mekanisme pasar.
Negara tidak bisa menyerahkan semua tanggung jawab pelayanan publik kepada pihak lain, misalnya pihak swasta. Kembali ke kasus pelayanan air, kita tahu selama ini telah ada sejumlah perusahaan swasta menjalankan bisnis pelayanan air. Tetapi ketika negara (Pemda DKI) melakukan privatisasi terhadap PT PAM, maka yang terjadi adalah Pemda melepaskan seluruh tanggung jawab pelayanan air kepada mekanisme pasar. Air tidak lagi menjadi public good tetapi seluruhnya private good. Kebijakan yang berbeda kita lihat dari pelayaran oleh PT Pelni. Meski merugi, negara tidak memprivatisasinya.
Pertanyaan yang bisa diajukan adalah bagaimana dengan nasib warga ketika negara mulai menggunakan perhitungan untung-rugi dalam melakukan pelayanan publik?.
Pertanyaan etis itu penting karena menggugat dan melampaui perhitungan ekonomis dari pandangan yang pro kepada mekanisme pasar. Pertanyaan etis itu mewakili pertanyaan yang lebih besar tentang bagaimana nasib pelayanan publik di Indonesia saat ini dan di masa depan.
UUD 1945 (khususnya pasal 33) sesungguhnya mencerminkan suatu pandangan etis yang berpihak pada kepentingan warga, dan pengakuan yang besar terhadap peran dan tanggung jawab negara. Para penyusun konstitusi sangat sadar bahwa keutamaan harus menjadi landasan agar kepentingan banyak orang bisa terpenuhi.
Saat ini, logika dan nilai dari mekanisme pasar telah menggerogoti “yang baik” dari kita. Kontrak telah menggantikan keutamaan, public good terancam hilang, dan warga berubah menjadi konsumen. Kenyataan semacam itu akan menempatkan seluruh warga selalu dalam keadaan yang rentan karena haknya sewaktu-waktu akan dicabut sebab tak memenuhi kontrak yang ditetapkan oleh mekanisme pasar.
Pelayanan publik yang tengah terancam serbuan logika dan nilai dari mekanisme pasar sudah saatnya kita cegah dengan mewujudkan dan memperjuangkan etika pelayanan publik yang berpihak pada kepentingan banyak orang, bukan kepada segelintir orang yang punya uang berlimpah-limpah, dan bukan kepada pihak yang hanya sekedar menempatkan perhitungan untung-rugi atau memandang kebutuhan masyarakat hanya sebagai private good.
Dengan pandangan dan sikap etis itu, maka kebijakan negara untuk tetap mempertahankan sejumlah pelayanan publik (meski rugi seperti PT Pelni) patut didukung. Bukan semata karena kita tidak peduli dengan perhitungan untung-rugi, tetapi lebih karena kita ingin bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan yang menjadi hak setiap warga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar