Jumat, 10 Juni 2011

REFORMASI BIROKRSI DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI

REFORMASI BIROKRSI DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI





Oleh
ABDUL AZIS ANSAR
C1A1 08 119


JURUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2011

BAB I
PENDAHULUAN

Reformasi Birokrasi pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan pembaruan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan, terutama menyangkut aspek-aspek berikut :
1. Kelembagaan (organisasi)
2. Ketatalaksanaan (business process)
3. sumber daya manusia aparatur
Berbagai permasalahan/hambatan yang mengakibatkan sistem penyelenggaraan pemerintahan tidak berjalan atau diperkirakan tidak berjalan dengan baik, harus ditata ulang atau diperbarui. Reformasi Birokrasi dilaksanakan dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Dengan kata lain, Reformasi Birokrasi adalah langkah strategis untuk membangun aparatur negara agar lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam mengemban tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional. Selain itu, dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi informasi dan komunikasi serta perubahan lingkungan strategis menuntut birokrasi pemerintahan untuk direformasi dan disesuaikan dengan dinamika tuntutan masyarakat. Oleh karena itu, harus segera diambil langkah langkah yang bersifat mendasar, komprehensif dan sistemik, sehingga tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan dapat dicapai dengan efektif dan efisien.
Reformasi di sini merupakan proses pembaruan yang dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan, sehingga tidak termasuk upaya dan/atau tindakan yang bersifat radikal dan revolusioner.
Disadari sepenuhnya, kondisi birokrasi pemerintahan saat ini masih belum seperti yang dicita-citakan, yang antara lain diindikasikan dengan :
1. praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) masih berlangsung hingga saat ini;
2. tingkat kualitas pelayanan public yang belum mampu memenuhi harapan public;
3. tingkat efisiensi, efektivitas dan produktivitas dari birokrasi pemerintahan belum Optimal;
4. tingkat transparansi dan akuntabilitas birokrasi pemerintahan yang masih rendah;
5. tingkat disiplin dan etos kerja pegawai yang masih rendah;
6. tingkat efektifitas pengawasan fungsional dan pengawasan internal dari birokrasi pemerintahan belum dapat berjalan secara optimal;
Kondisi birokrasi sebagaimana tersebut diatas semakin memperkuat tekad untuk mempercepat proses Reformasi Birokrasi, khususnya di lembaga-lembaga penegakan hukum dan lembaga-lembaga keuangan serta pelayanan publik, termasuk di Kejaksaan.









BAB II
PEMBAHASAN
Substansi pemberantasan korupsi bukanlah pada penindakan. Tapi, pencegahan. Karena, penindakan dilakukan setelah adanya korupsi. Persis pemadam kebakaran. Sedangkan, pencegahan justru dilakukan di muka. Tujuannya untuk menutup peluang semaksimal mungkin bagi terjadinya korupsi. Apa bentuknya? Pengembangan budaya antikorupsi dan dilakukannya reformasi birokrasi.
Budaya antikorupsi tumbuh melalui promosi dan penanaman nilai-nilai kejujuran, keterbukaan, dan malu berbuat curang. Akarnya bisa dari agama dan tradisi setempat. Jalurnya bisa melalui sekolah, keluarga, ataupun berbagai bentuk kampanye lainnya. Motornya bisa Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun, tentu tak akan efektif tanpa keterlibatan seluruh lapisan masyarakat. Ia harus menjadi gerakan sosial dan masif. Namun, di manapun, peran pemerintah tetaplah yang paling sentral. Karena, di sana ada organisasi, sumber daya, dan dana.
Tampaknya, tak ada masalah dengan pengembangan budaya antikorupsi. Sedangkan, menyangkut reformasi birokrasi bukanlah perkara mudah. Karena, di sini akan menyentuh langsung para pelaku korupsi. Ada rasa sungkan, bahkan perlawanan. Tarik ulur hadirnya KPK dalam pembahasan anggaran di DPR menapakan salah satu bentuk ketakmudahan langkah-langkah menuju reformasi birokrasi. Isunya menjadi bersifat politis, yakni intervensi KPK di parlemen. Padahal, poinnya bukan itu. KPK sedang mempelajari di mana titik lemah proses penyusunan anggaran yang akan menjadi titik masuk terjadinya korupsi. Setelah mengetahui bolong-bolongnya, KPK bisa memberikan rekomendasi perbaikan dalam penyusunan anggaran. Ada 16 langkah dalam proses penyusunan anggaran, salah satunya di parlemen. Lainnya adalah di birokrasi itu sendiri.
Terbongkarnya sejumlah kasus korupsi akhir-akhir ini ternyata berawal dari pembahasan anggaran di parlemen. Sejak masa reformasi, parlemen diberi hak untuk ikut terlibat dalam penyusunan anggaran hingga ke level sangat teknis. Berbeda dibandingkan masa Orde Baru. Saat itu, parlemen hanya dimintai persetujuan tentang programnya dan nilai anggarannya. Kini, parlemen ikut diberi hak untuk menolak atau menyetujui hingga ke level teknis. Pada saat itulah terjadi deal-deal di balik meja program disetujui, tapi si anu atau partai anu dapat jatah. Bentuknya bisa berupa persentase, bisa pula memasukkan nama perusahaan yang akan memenangkan tender pada program tersebut. Kasus suap yang melibatkan anggota parlemen, salah satunya berada pada titik ini.
Sebetulnya, ketika parlemen menuntut hak untuk terlibat di level teknis penyusunan anggaran, awalnya adalah untuk mencegah praktik korupsi. Saat itu, korupsi adalah monopoli birokrasi. Namun, ketika hak pengawasan itu diberikan, ternyata bukannya untuk mencegah korupsi, tapi justru dijadikan pintu masuk untuk ikut dapat jatah korupsi. Tentu saja, hal itu membuka peluang bagi meningkatnya angka kebocoran. Tak heran jika kualitas pembangunan makin menurun.
Kita berharap, masuknya KPK dalam forum pembahasan anggaran di parlemen tak hanya akan melahirkan rekomendasi bagi perbaikan praktik dan prosedur birokrasi. Tapi, juga untuk nguping dan sekaligus membangun aura rasa segan dan takut bagi anggota parlemen yang mulai pasang saham dalam rencana korupsi saat penyusunan anggaran tersebut. Kita juga berharap, keterlibatan KPK ini jangan sampai menjadi titik masuk bagi kemungkinan terseretnya KPK dalam bancakan korupsi. Itulah yang "dulu" terjadi pada parlemen.







BAB III
KESIMPULAN

Saat ini praktik penegakan hukum sedang mengalami disorientasi kinerja dari amanah yang diperintahkan di dalam UUD 1945 dan perubahannya. Disorientasi pertama, polisi, jaksa dan hakim saat ini tampak kehilangan jati diri karena keberadaan lembaga pengawas eksternal seperti Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan dan Komisi Kepolisian. Selain belum efektif juga tampak ada keinginan kuat untuk memasuki terlalu jauh pekerjaan lembaga penegak hukum tersebut yang bertentangan dengan UU.

Kekuatan kritik sosial dan pers bebas sering menimbulkan kegamangan penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya secara benar menurut UU yang berlaku. Disorientasi kedua, tidak jelas lagi batas-batas sistem pengendalian internal dan eksternal dalam penegakan hukum. Yang terjadi “kontrol internal” dilakukan oleh masyarakat sipil, seharusnya oleh lembaga pengawas internal (irjen dll); dan “kontrol eksternal” dilakukan oleh “orang dalam” lembaga penegak hukum itu sendiri.

Lebih tidak jelas lagi kepada siapa semua fungsi kontrol tersebut harus dipertanggungjawabkan, kepada DPR RI sebagai lembaga pengawas kinerja pemerintah (eksekutif) atau kepada rakyat Indonesia, atau masyarakat sipil di mana saja dan kapan saja dikehendaki rakyat Indonesia itu atau hanya kepada seorang presiden saja. Disorientasi ketiga,kepakaran yang “dimonopoli” oleh kalangan akademisi dalam menyikapi masalah penegakan hukum.Yang terjadi saat ini telah tumbuh berkembang, tidak jelas lagi bedanya antara seorang “pekerja intelek” dan seorang “intelektual”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar