Rabu, 13 Juli 2011

Hantu Parit Irigasi


Desa di mana aku lahir adalah sebuah pedalaman jauh. Televisi hitam putih baru masuk ke sana tahun 1987 dan itupun hanya ada dua rumah yang memilikinya. Saat itu kami belum punya listrik, jadi untuk menghidupkan TV kami memakai battrei besar yang selalu di cas kalau sudah habis dayanya. Masyarakat yang hendak menonton televisi datang ke rumah yang punya televisi tersebut. Tidak selau beruntung, terkadang pemiliknya tidak mau menghidupkan karena ada sanak keluarganya yang sakit, atau alasan lain yang memang bisa diterima. Tetapi hal ini jarang terjadi, apalagi malam minggu di mana TVRI menyiarkan film akhir pekan yang selalu diunggu (kalau tidak ada Laporan Khusus yang menjemukan itu).

Rumah saya hanya berjarak 700 meter dari rumah warga yang punya lelevisi. Namun untuk menuju ke sana saya harus melintasi komplek kuburan umum yang ada di pinggir jalan. Di sisi kanan komplek ada bangunan sekolah, sementara di sisi kirinya ada kebun masyarakat. Jadi antara rumah saya dan rumah tempat menonton televisi tidak ada perumahan warga lain, sangat sepi kalau malam hari. Sementara berseberangan jalan dengan komplek kuburan ada sebuah parit yang sedang digali untuk dibuat irigasi. Parit itu agak dalam, mungkin dua meter, tapi tidak ada airnya.

Pada satu malam minggu saya dan belasan warga lain pergi ke tempat nonton televisi, biasanya ada film akhir pekan. Ada beberapa film laga indonesia yang menarik waktu itu yang membuat masyarakat menantikan kahadiran malam minggu. Sebagai seorang yang masih tergolong anak-anak, saya duduk paling depan bersama anak-anak yang lain. Sementara orang dewasa duduk di belakang bahkan sampai ke teras rumah karena banyaknya warga yang datang menonoton televisi.

celakanya, malam itu ada laporan khusus peresmian sebuah proyek raksasa yang akan dilakukan oleh presiden Soeharto. Seperti biasanya, laporan khusus adalah program dadakan yang tidak bisa diprediksi sebelumnya. Kalau ada laporan khusus maka penayangan film akhir pekan menjadi terlambat. Terkadang laporan khusus hanya sepuluh atau dua puluh menit saja. Namun biasanya laporan khusus bisa sampai satu atau dua jam. Bagi warga desa saya, laporan ini sangat menjemukan dan mengganggu harapan mereka untuk menikmati film akhir pekan. Nah, di sela-sela menunggu laporan khusus selesai, saya tidur di depan televisi. Celakanya lagi, saya tidak sadar kalau laporan khusus sudah selesai dan bahkan film juga sudah selesai. Saya terbangun saat penonton hampir habis pulang ke rumah. Dan yang membuat saya sangat sedih adalah teman-teman meninggalkan saya.

Jadinya, saya harus pulang sendirian. Ini menakutkan karena saya harus melintasi komplek kuburan umum. Saya ambil inisiatif untuk masuk ke dalam galian parit di seberang kuburan dan menutup kepala dengan sarung, kebetulan berwarna putih yang sudah kusam. Saya berjalan pelan-pelan di dalam parit, tanpa suara dan tidak melihat kebelakang, kiri dan kanan. Mulut saya tidak henti-hentinya komat-kamit berdoa agar tidak ada hantu yang mengganggu. Semua ayat al-Qur’an yang saya hafal, saya ulangi dalam perjalanan itu.

Tiba-tiba dari belakang saya terdengar ada orang berbincang dan tertawa cekikan. Saya tahu kalau mereka anak muda yang baru pulang menonton PHR (Panggung Hiburan Rakyat), sejenis bioskop sekarang ini. Mereka pulang dari Kota Fajar, kota kecamatan yang jakarknya sekitar 10 km. Mendengar suara mereka saya sedikit lega karena berarti saya punya teman. Oleh sebab itu ketika mereka hendak melintasi saya, saya keluar dari parit. Ternyata mereka ada empat orang yang mengenderai dua sepeda berboncengan. Begitu melihat saya keluar dari parit dengan kain putih menutup setengah badan ke atas, mereka berteriak: “Hantu…… hantu…. hantu…. ” mereka mendayung sepeda dengan sangat cepat. Namun karena jalan berbatu dan berlobang sepedanya jatuh, lalu mereka meninggalkan sepeda di sana dan terus berlari sambil meneriakkan, hantu… hantu…

Mendengar teriakan mereka saya kaget bukan main. Saya pikir mereka melihat hantu di belakang saya atau dari kuburan. Saya jugajadi sangat takut dan ikut berlari di belakang mereka untuk menyelamatkan diri dari hantu. Meihat saya lari ke arah mereka, mereka malah semakin ketakutan dan semakin kencang larinya. Hingga kami terlibat aksi kejar-kejaran, seperti densus dengan teroris. Namun karena saya masih kecil saya tertinggal jauh, tapi kami sudah sampai ke perumahan. Beberapa warga laki-laki ternyata keluar dari rumah ketika mendengar teriakan “hantu”. Ketika tiba di pinggir jalan bukan hantu yang mereka dapatkan tapi Sehat Ihsan yang sedang menangis ketakutan. Pemuda yang tadi lari kembali kepada saya dan beberapa warga yang berkumpul. Mereka mengatakan: “Oo… kami kira kamu hantu, makanya kami lari….” Lha, ternyata saya yang dianggap hantu. Apa mirip ya? Hahaha….

***

hantu dan rintangan selalu kita ciptakan sendiri dan kita sendiri pula yang ketakutan menghadapinya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar